Bekasi, infosatu.co – Kebijakan Pemerintahan Prabowo Subianto menaikkan gaji hakim hingga 280 persen, menjadi perbincangan masyarakat. Apakah ini reformasi nyata atau tantangan baru?
Kebijakan ini langsung mendapat berbagai respons dari masyarakat dan kalangan hukum setelah diumumkan secara resmi. Banyak yang melihatnya sebagai langkah maju untuk memberantas mafia peradilan.
Namun, ada juga yang skeptisisme tetap ada apakah kenaikan gaji saja cukup untuk menghapus praktik suap? Salah satunya tanggapan dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Bekasi.
Ketua LBH-AP PDM Kota Bekasi, Kombes Polisi (Purn) I Ketut Sudiharsa, SH, MH yang juga mantan penyidik Mabes Polri ini menyatakan lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya.
“Ini karena kenaikan gaji hakim tersebut akan berdampak kepada semakin dalamnya jurang kehidupan antara hakim dengan penegak hukum lainnya,” kata I Ketut Sudiharsa, alumni UII Yogyakarta dan UI Jakarta ini.
Berikut petikan wawancara dengan mantan Resese di Bareskrim Polri, pengacara senior DIVKUM Polri, mantan Direktur Hukum PPATK, mantan Pimpinan LPSK periode I dan terkahir Ketua LBH AP Muhammadyah, I Ketut Sudiharsa.
Q: Bagaimana tanggapan saudara terkait kenaikan gaji hakim yang mencapai 280 persen itu?
A: Apabila tujuan kenaikan gaji hakim tersebut untuk menghentikan niat hakim untuk korupsi, ini sangat baik tetapi bukan berarti akan menciptakan putusan hakim yang berkeadilan. Kecuali keputusan ini dilakukan melalui suatu mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan hasil kajian bahwa penyebab tidak tercapainya keadilan dalam putusan adalah karena masalah penghasilan hakim yang rendah.
Q: Apakah ada hubungan yang signifikan antara kenaikan gaji hakim yang 280 persen tersebut dengan tereliminirnya korupsi dan korupsi?
A: Menurut saya akar masalah korupsi adalah rasa ketakutan dan kebijakan pemerintah sampai saat ini tidak bisa menghilangkan rasa ketakutan, khususnya para pejabat atau ASN (Aparat Sipil Negara) yaitu ketakutan akan bagaimana kehidupan kedepannya.
Pejabat/ASN merasa ketakutan akan kemiskinan setelah berakhirnya jabatan mereka. Oleh karena itu, akar masalah yang harus ditangani adalah sistem perekonomian yang baik yaitu yang mensejahterakan masyarakat sampai hari tuanya yang akan menghentikan ketakutan kemiskinan masa depannya.
Artinya pemerintah harus mampu membuat masyarakatnya merasa terjamin dalam kehidupannya sampai hari tuanya, sehingga masyarakat hanya focus memikirkan apa yang terbaik untuk kemaslahatan.
Q: Apakah dengan demikian kenaikan gaji hakim tersebut tidak ada manfaatnya untuk tercapainya keadilan?
A: Bagi saya, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, karena kenaikan gaji Hakim tersebut akan berdampak kepada semakin dalamnya jurang kehidupan antara hakim dengan penegak hukum lainnya.
Seperti Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun penyidik serta ASN lainnya, bahkan dengan masyarakat secara umum, kecuali keputusan itu sudah melalui kajian dan penelitian yang panjang dan mendalam. Terlebih lagi kita mengetahui hakim di Indonesia itu terlahir dari sarjana baru, bukan direkrut dari pengacara atau jaksa senior denga kualitas tertentu.
Q: Menurut saudara kebijakan pemerintah tentang penggajian seharusnya dilakukan seperti apa?
A: Pemerintah harusnya membuat sistem penggajian yang berkeadilan bagi seluruh pegawai/pejabat negara dengan memegang teguh prinsip minimal penghasilan yang mensejahterakan, artinya perbedaan signifikan terhadap pejabat bidang-bidang tertentu seperti keuangan, penegak hukum, pertahanan keamanan serta kesehatan tidak akan mempengaruhi ASN di bidang lainnya. Disamping itu, negara juga harus membuat kebijakan standarisasi penggajian dibidang swasta.
Q: Apakah dengan kenaikan gaji hakim dan ancaman pecat yang melanggar itu berdampak penjeraan kepada hakim-hakim?
A: Tidak ada hubungan antara hukuman berat dengan penjeraan. Menurut teori Colins, ada tiga syarat untuk tercapainya dampak penjeraan yaitu: Pertama aturan harus diketahui masyarakat. Kedua, pimpinan penegak hukum wajib mensosialisasikan aturan kepada penyidik secara rutin. Ketiga, penerapan aturan harus tidak pilih bulu.