Samarinda, infosatu.co – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai masih rentan memicu gangguan kesehatan bila makanan tidak dikonsumsi sesuai aturan.
Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim menekankan pentingnya disiplin waktu makan agar kualitas makanan tetap terjaga.
Kepala Diskes Kaltim, Jaya Mualimin, menjelaskan bahwa makanan berkuah dan berbahan basah paling cepat terkontaminasi jika dibiarkan terlalu lama.
“Rata-rata makanan harus sudah habis dalam empat jam. Lebih dari itu sangat berisiko menimbulkan kuman atau bakteri,” ujarnya, Jumat, 26 September 2025.
Kasus sempat terjadi di Samarinda ketika sejumlah siswa mengeluh sakit perut usai menunda makan siang MBG hingga selesai Salat Jumat.
“Kondisi makanan sudah menurun kualitasnya, akhirnya tidak nyaman di lambung,” ungkap Jaya.
Untuk mencegah kejadian serupa, Diskes rutin melatih penjamah makanan mulai dari pemilihan bahan, proses memasak, hingga tahap penyajian. Pemantauan dilakukan melalui pengambilan sampel dari dapur penyedia sebelum makanan disalurkan.
“Kalau sampelnya aman, baru bisa dibagikan. Tapi kalau ditemukan masalah, makanan langsung dilarang untuk dikonsumsi,” tegasnya.
Jika keracunan terjadi, puskesmas menjadi garda terdepan penanganan, sebelum dirujuk ke rumah sakit bila masuk kategori kejadian luar biasa (KLB).
“Setiap minggu kami juga menerima laporan dari puskesmas, termasuk potensi KLB seperti keracunan makanan,” jelasnya.
Selain keracunan, potensi alergi juga perlu diwaspadai. Jaya menegaskan, meski alergi hanya dialami individu tertentu, risiko makanan basi bisa berdampak pada semua orang.
“Kalau alergi itu spesifik, misalnya pada kepiting atau seafood. Tapi kalau basi, semua orang bisa terdampak,” tambahnya.
Dari sisi bahan, pemerintah memastikan seluruh pasokan MBG berasal dari produk lokal, seperti telur, sayuran, hingga ikan gabus atau haruan. Selain lebih bergizi dan murah, langkah ini juga mendorong ekonomi masyarakat.
Diskes Kaltim bersama Dinas Pangan kini memperkuat rantai pasok agar distribusi bahan makanan lebih terkontrol, memenuhi standar sanitasi, dan mengurangi risiko kedaluwarsa maupun kontaminasi.
“Intinya, keamanan pangan menjadi perhatian utama. Jangan sampai niat baik meningkatkan gizi anak justru terganggu karena kelalaian dalam penyajian makanan,” pungkas Jaya.