Samarinda, infosatu.co – Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kota Samarinda tengah menyiapkan program unggulan.
Program tersebut yaitu Gempar Seribu HPK (Gerakan Edukasi dan Motivasi untuk Pengasuhan Aktif dan Responsif di Seribu Hari Pertama Kehidupan).
Program ini dirancang untuk memperkuat peran ayah dalam pengasuhan anak sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun.
Kepala Bidang Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga DPPKB Samarinda, Waode Rosliani menyampaikan bahwa program ini.
Menurutnya, program ini terinspirasi dari semakin kuatnya isu fatherless atau ketidakhadiran peran ayah dalam keluarga, baik secara fisik maupun emosional.
“Peran ayah sangat krusial, bukan hanya setelah anak lahir, tetapi sejak masih dalam kandungan. Ayah bisa berkontribusi besar, seperti memastikan asupan gizi ibu hamil agar anak lahir dengan berat badan ideal dan tidak berisiko stunting,” jelasnya pada Rabu, 21 Mei 2025 di DPPKB Kota Samarinda.
Target dari program ini adalah 1.000 peserta yang tersebar di seluruh kecamatan di Samarinda, dengan sasaran utama keluarga yang berada dalam periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni ibu hamil, ibu menyusui, anak usia 0–2 tahun, serta ayah.
Menariknya, Gempar Seribu HPK juga selaras dengan program nasional Quickwin dari Kemendukbangga (Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga)/BKKBN yaitu Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), yang mendorong keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan dan perlindungan anak.
“Kami ingin membangun kesadaran bahwa pengasuhan bukan hanya tugas ibu. Peran ayah juga kunci bagi kesejahteraan anak dan keluarga,” ujarnya.
Saat ini program masih dalam tahap persiapan dan akan dieksekusi pada pertengahan tahun, menunggu realisasi anggaran kas daerah sekitar bulan Juni atau Juli 2025.
DPPKB juga menggandeng Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) untuk menjaring peserta bekerja sama dengan camat dan lurah, mengingat data keluarga berisiko stunting dari tahun 2021 sudah tidak relevan.
Namun pelaksanaan program ini juga menghadapi tantangan, terutama lemahnya koordinasi di tingkat bawah.
“Salah satu hambatan terbesar yang kami hadapi adalah kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya program ini. Banyak warga yang enggan melapor atau membawa anaknya ke posyandu, terutama jika anak tersebut berisiko stunting, sehingga upaya penanganan menjadi kurang optimal,” jelas Waode.
“Selain itu, banyak RT dan lurah bahkan belum tahu siapa kader TPK atau KPM di wilayahnya, padahal mereka ini ujung tombak penanganan stunting,” sambungnya.
Ia mencontohkan keberhasilan NTB dalam menurunkan angka stunting berkat komitmen kepala desa yang hadir langsung dalam kegiatan Posyandu.
“Kami berharap Samarinda bisa meniru komitmen itu, agar program-program seperti Gempar Seribu HPK bisa benar-benar berdampak langsung ke masyarakat,” pungkasnya.