Jakarta – Mengantar dan melepas kepergian jamaah haji telah menjadi tradisi. Masyarakat Betawi, misalnya, yang akan menggelar pengajian ketika ada salah satu anggota keluarganya akan berangkat ke Tanah Suci.
Zikir dan Doa
Selanjutnya zikir dan doa. Selanjutnya calon jamaah haji akan ber-mushafahah (bersalaman) dengan warga lainnya dan menikmati hidangan yang sahibul bait sediakan.
Bahkan, ada juga yang memeriahkan momentum pelepasan jamaah haji itu dengan menyalakan petasan. Setelah waktunya tiba, orang-orang akan mengantarkan calon jamaah haji itu menuju asrama haji.
Begitu juga pada tradisi masyarakat Jawa yang menggelar walimatus safar berisi permohonan doa dari setiap warga agar jamaah yang akan berangkat diberikan keselamatan.
Masyarakat memberikan uang saku, makanan, pakaian, dan lainnya sebagai bekal bagi calon jamaah haji. Masyarakat pun berbondong-bondong mengantarkan hingga ke asrama haji.
Sebenarnya mengantar kepergian orang yang akan berangkat ke Tanah Suci dianjurkan. Seperti dianjurkan juga meminta atau menitipkan doa kepada jamaah haji. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Abu Bakar Al Ajurry seorang ulama dari kalangan Mazhab Hanbali.
Kesunnahan Mengantar Jamaah Haji
Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha, Syekh Ar Ruhainani menukil keterangan Syaikh Abu Bakr al Ajurry berkaitan dengan kesunahan mengantar jamaah haji.
وذكر أبو بكر الآجري استحباب تشييع الحاج ووداعه ومسألته أن يدعو له ـ وشيع أحمد أمه بالحج
Pada masa Rasulullah ada sebuah tempat bernama Tsaniyyatul Wada’. Dijelaskan dalam kitab Syarh Shahih Al Bukhari karya Imam Ibnu Bathal bahwa di tempat ini para sahabat mengantarkan orang-orang yang akan menunaikan haji.
انما سميت بذلك لأنهم كانوا يشيعون الحاج والغزاة اليها ويودعونهم عندها
Artinya: Dinamakan Tsaniatul Wada’ karena para sahabat mengantarkan orang yang berhaji dan berperang dan menitipkan kepada mereka (doa).