Penulis: Irfan – Editor: Achmad
Samarinda, infosatu.co – Masyarakat dari kelompok tani di Kelurahan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran menuntut keadilan hukum pasca pembongkaran pondok di area sekitar lahan kebun oleh Pemkot Samarinda.
Mereka pun melaporkan kasus sengketa lahan ini ke konsultan hukum Law Firm Paulinus Dugis SH yang berkantor di Jalan KH Harun Nafsi Perum Samarinda Hill Blok B Nomor 2, Kelurahan Rapak Dalam, Kecamatan Samarinda Seberang, Senin (3/8/2020) kemarin. Dialog pengaduan ini diterima langsung oleh kuasa hukum Yafet De Pagoga, SH sekaligus ketua tim pendamping kelompok tani yang didampingi Ketua Ketua Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) Kaltim Paulinus Dugis, SH, dan sejumlah Advokat lainnya seperti Desi Andriani Natalie Hangin, dan Melsy Santo.
Dalam keterangan pers tersebut, Yafet mengatakan kini para petani tidak bisa beraktivitas setelah lahan mereka diduduki dibongkar bahkan dibakar Satpol PP Kota Samarinda yang saat itu datang bersama dengan rombongan polri ke lokasi.
Menurut Yafet, alasan pembongkaran bangunan pondok kelompok tani ini lantaran bangunan berupa pondok tersebut tidak memiliki surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
“Ada dugaan pihak perusahaan menggunakan jasa aparat kemanan yang sebelumnya melakukan pembongkaran bangunan berupa pondok kelompok tani bahkan ada beberapa pondok yang dibakar pada Rabu (29/7/2020) lalu,” bebernya sambil menunjukkan beberapa dokumentasi foto di lokasi pembongkaran.
Sementara itu Ketua Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) Kaltim, Paulinus Dugis mengutarakan jika dari aksi pembongkaran tersebut membuat pihak kelompok tani banyak mengalami kerugian terutama materil.
“Kami akan mengambil langkah-langkah hukum terkait tindak pidana atau perdata atas masalah ini. Karena sejauh ini dari sisi perdatanya saja, kelompok tani ini banyak dirugikan dan kami melihat kegiatan pembongkaran melibatkan sejumlah oknum aparat, etikanya sudah di luar hukum. Seharusnya sebelum melakukan pembongkaran ada informasi teguran dan dasar hukumnya,” terangnya.
Untuk dampak kerugian sementara ia dan tim pengacara lainnya akan dalami dan mengumpulkan sejumlah data kerugian yang dialami oleh kliennya tersebut.
Singkat cerita, peristiwa ini berawal ketika salah satu petani bernama Norsiah dipanggil oleh pihak kepolisian karena diduga melakukan penyerobotan lahan PT Insani Bara Perkasa (IBP). Dalam penyelidikan tersebut turut serta dipanggil menghadap yakni Ketua Kelompok Tani Pampang Jaya, Yakobus Irang dan pihak pengacara turut mendampingi. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut Norsiah dan Yakobus Irang menginformasikan jika dua-duanya hanya menjalankan tugas berdasarkan kerja sama lewat surat kuasa dari pemberi kuasa Aji Pangeran Hario Adiningrat.
Dirinya pun turut mempertanyakan keabsahan atas legalitas dokumen asli yang menyatakan jika lahan itu memang milik PT IBP hingga berujung pembongkaran dan merugikan kliennya tersebut.
“Kita akan menjamin secara menyuruh seluruh kelompok tani meninggalkan lokasi pondok mereka jika memang ada bukti legalitas bahwa lahan itu milik perusahaan. Namun setahu kami pihak perusahaan hanya memiliki surat berupa pelepasan hak saja, yang menurut kami sangat tidak masuk akal jika pihak perusahaan yang notabene ingin menambang hanya beralasan hak dengan surat pelepasan hak semata. Berbeda jika pihak perusahaan memiliki hak guna bangunan (HGB) atau hak guna usaha (HGU) bisa saja,” jelasnya.
Kesimpulan yang diambil oleh tim pendamping hukum kelompok tani Pampang Jaya tersebut yaitu pembongkaran pondok di atas lahan itu dugaan kuat yaitu masih adanya kandungan kalori batu bara yang cukup tinggi di area lahan.
“Ini dibuktikan sebelumnya Norsiah telah menerima sejumlah uang dari pihak perusahan dengan menandatangani berita acara dan ada kuitansinya. Logikanya jika Norsiah tidak mempunyai legalitas atas lahan tersebut, ngapain pihak perusahaan membayarnya. Harusnya perusahaan bisa menggugat secara perdata lewat proses hukum di pengadilan tidak langsung membongkar secara tiba-tiba,” urainya.
Dirinya pun turut menyesalkan sikap Satpol PP Samarinda yang datang membongkar paksa pondok para petani tersebut.
“Sejauh ini belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang menyatakan membangun pondok kebun atau sawah harus menggunakan IMB, Satpol PP itu mestinya tahu tugas dan fungsi mereka, jika datang melakukan penertiban harus ada bukti Perda mana yang dilanggar oleh petani artinya ada perda yang dilanggar. Jika soal IMB bukan pondok kebun yang harus mereka tertibkan, tetapi sejumlah bangunan liar yang lain,” tutupnya.