Penulis: Lydia – Editor: Irfan
Samarinda, infosatu.co – Dugaan kasus pembebasan tanah sirkuit tahun anggaran 2010-2012 di Kutai Timur (Kutim) membuahkan hasil dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim dengan menetapkan satu tersangka.
Sebelumnya, Kepala Kejati Kaltim Chairul Amir menyatakan bahwa lahan tersebut adalah milik negara. Namun ada beberapa oknum yang mengaku sebagai pemilik dan kemudian uang APBD digunakan untuk membebaskan lahan tersebut.
“Jadi membayar sesuatu yang tidak perlu karena sebenarnya tanah tersebut adalah milik negara. Berkat kerja keras tim dalam meningkatkan penyidikan dengan hasil yang cepat, kita bisa menetapkan tersangkanya yakni salah satu mantan kepala dinas pada saat itu dengan inisial HAA,” jelasnya di Kantor Kejati Kaltim Lantai I, Jumat (22/5/2020).
HAA bertanggung jawab terhadap pekerjaan ini sekaligus pembayaran-pembayaran pengadaan tanah tahun 2010-2012.
“Untuk sementara tersangkanya cuma satu, karena menetapkan tersangka harus dengan bukti. Perlu diingat bahwa korupsi itu ada kaitannya dengan kewenangan, jabatan dan tanggung jawab. Lalu siapa yang berwenang mengelola uang ini, kebetulan HAA sebagai Kuasa Pengguna Anggarannya (KPA),” paparnya.
KPA bertanggung jawab dan seharusnya ia menseleksi orang-orang yang memberikan sejumlah informasi. Jika informasi tersebut salah dan ia tetap membayarkannya, itu artinya dia yang bertanggung jawab.
Kata Chairul, tidak mungkin ada korupsi yang pelakunya cuma satu. Bisa saja ada orang yang diduga ikut memberikan peran dalam pengadaan tanah tersebut. Tapi ia akan melihat dulu kedudukan orang tersebut sebagai apa pada proses pengadaan itu.
“Kita harus melihat siapa pengelola, juga siapa yang membayarkan uang tersebut. Untuk sementara ada lima orang yang mengaku pemilik dan sudah diperiksa sebagai penerima. Lima orang ini ditetapkan sebagai saksi dan mengaku menerima uang,” ucapnya.
Disinggung terkait kerugian negara, Chairul mengatakan jika dilihat sebagai penyidik maka kerugian tersebut seberapa besar uang yang keluar. Bisa dikatakan uang yang dibayarkan untuk membebaskan tanah itu adalah kerugian negara.
“Pengadaan tanah tersebut sekitar Rp 25 miliar dalam dua tahun. Namun kita tunggu lagi perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang jelas BPKP sepakat bahwa ada kerugian negara,” terangnya.
Hingga sekarang sirkuit tersebut tidak kelihatan pembangunannya, ada kemungkinan kasus ini akan berkembang.
“Selain kasus pengadaan tanah, kita lihat juga pembangunan sirkuitnya itu. Sebab dilakukan pemeriksaan di lapangan bahwa sirkuit tersebut belum selesai. Namun untuk sekarang, kita fokus sama tanah dulu. Jika tanah sudah selesai, kita akan lebih intens,” tegas Chairul.