Samarinda, infosatu.co – Ketegangan melanda sejumlah pedagang beras di Kalimantan Timur (Kaltim) menyusul penangkapan beberapa pelaku usaha yang dituding mengoplos beras premium.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan beras di daerah tersebut.
Hal ini mengingat ketergantungan tinggi masyarakat Kaltim terhadap suplai dari luar daerah.
Salah satu pihak yang menyuarakan keberatan adalah Ketua Asosiasi Pedagang Beras Kaltim, H. Muhammad Nasir, yang juga mengelola Toko Hery Jaya NSR.
Ia menilai tuduhan pengoplosan yang diarahkan kepada pedagang perlu ditinjau ulang.
Menurutnya, kasus yang menjerat pedagang dengan dugaan menjual beras premium memiliki tingkat broken atau beras pecah 15,7 persen tidak serta-merta masuk kategori oplosan.
“Itu murni produk pabrik. Mesin penggiling beras tidak semuanya bisa diatur untuk menghasilkan beras dengan broken di bawah 15 persen,” katanya.
“Jadi, tuduhan oplosan perlu dikaji dan diverifikasi,” ujar Nasir, kepada MSI Group, Senin, 11 Agustus 2025.
Ketua Fokus Kaltim itu, menjelaskan, berdasarkan standar, beras premium memang memiliki batas broken maksimal 15 persen.
Namun, dalam praktiknya, perbedaan sedikit di atas angka tersebut tidak jarang terjadi akibat variasi hasil penggilingan padi di pabrik.
Situasi ini, kata dia, seharusnya dipahami oleh pihak berwenang agar tidak semua kasus dikategorikan sebagai pelanggaran berat.
Selain soal kualitas, para pedagang juga mempersoalkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dinilai tidak realistis.
H Muhammad Nasir, Ketua Asosiasi Pedagang Beras Kaltim, mengungkapkan, HET di wilayah produksi beras premium di Sulawesi ditetapkan Rp14.900 per kilogram, sementara di Kaltim sebagai daerah penerima distribusi, HET hanya lebih tinggi Rp500, yakni Rp15.400.
“Penetapan HET ini tidak masuk akal. Sebab, untuk biaya transportasi beras dari Sulawesi ke Kaltim itu Rp700. Ditambah ongkos kirim dari gudang ke toko para pedagang itu Rp50-100,” katanya.
“Artinya, biaya transportasi sekitar Rp750-800. Bagaimana pedagang bisa jual di harga HET?” katanya.
Kondisi pasokan beras di Kaltim memang bergantung pada suplai dari luar daerah.
Nasir menyebut produksi lokal hanya mampu memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan.
Sebagian besar, sekitar 70-80 persen, dipasok dari Sulawesi, sementara 10-15 persen berasal dari Jawa.
Dengan ketergantungan mencapai 90 persen pada distribusi lintas pulau, ia khawatir kebijakan yang menekan pedagang akan memicu kelangkaan stok.
“Jika pedagang harus menghadapi tuduhan beras oplosan dan HET, maka ada kekhawatiran para pedagang ini berhenti berdagang, dan Kaltim akan kekurangan stok beras,” katanya.
“Sementara beras adalah makanan pokok masyarakat Kaltim,” ujarnya.
Nasir berharap penyelesaian masalah dilakukan melalui dialog, bukan penangkapan.
Ia mengusulkan agar pedagang beras dan satuan tugas penanganan pangan duduk bersama, memetakan persoalan, dan mencari solusi bersama.
“Kalau memang ada yang melanggar, dalam pengertian sengaja mengoplos beras, ini kecurangan yang memang perlu ditertibkan. Tapi jangan semua beras yang ada broken-nya itu dianggap oplosan,” katanya.
“Kalau ini terus terjadi, para pedagang beras akan berhenti dan masyarakat Kaltim akan kekurangan pasokan beras,” pungkasnya.