
Samarinda, Infosatu.co – Sekretaris Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin, menyoroti maraknya aktivitas pertambangan ilegal yang berdampak langsung terhadap masyarakat dan lingkungan.
Hal itu ia sampaikan setelah Rapat Paripurna ke-27 DPRD Kaltim pada Senin, 28 Juli 2025.
Menurutnya, praktik pertambangan ilegal semakin meresahkan karena tidak hanya merusak lahan perkebunan dan pemukiman, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang serius.
Ia menyebut banyak kasus tambang yang berada sangat dekat dengan rumah warga, bahkan hanya berjarak satu hingga dua meter dari dapur masyarakat.
Padahal, kata dia, seharusnya ada ketentuan radius yang jelas, yakni minimal setengah hingga satu kilometer dari pemukiman.
“Sekarang tambang-tambangnya bukan hanya satu kilo, bahkan ada yang hanya satu-dua meter dari rumah warga. Ini jelas-jelas membahayakan, bukan hanya lingkungan tapi juga keselamatan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, dia juga mengungkap fenomena masyarakat yang terpaksa melepas lahannya kepada pelaku tambang karena tekanan kondisi sekitar.
Ia mencontohkan di beberapa desa, warga yang awalnya enggan menjual lahannya akhirnya ikut tergoda karena mayoritas tetangganya sudah melepas lahan perkebunan.
Akibatnya, lahan produktif, terutama kebun sawit dan kebun campuran, berubah menjadi lahan tambang yang tidak lagi bisa ditanami.
“Ketika tanahnya sudah diambil, soil atau lapisan tanah subur itu hilang. Artinya, tanah itu tidak bisa ditanami kembali. Ada banyak contoh, bahkan di daerah Sukabumi, kebun sawit warga yang sudah berbuah harus berubah menjadi kolam bekas tambang,” ujarnya.
Praktik ini, lanjutnya, diperparah dengan adanya kelompok tertentu yang mengatasnamakan organisasi masyarakat atau laskar yang justru bekerja sama dengan pelaku tambang ilegal.
Situasi ini membuat aktivitas yang seharusnya dilarang justru terlihat legal di mata sebagian pihak.
“Celakanya lagi, aktivitas tambang ilegal ini ibarat simbiosis mutualisme. Yang tadinya jelas ilegal, seolah-olah jadi legal karena ada yang membekingi. Bahkan ada oknum yang menggunakan fasilitas umum, seperti jalan yang dibangun pemerintah, untuk menunjang aktivitas tambang ilegal. Ini jelas salah dan merugikan kita semua,” ungkapnya.
Dampak buruk tidak hanya dirasakan masyarakat yang kehilangan lahan, tetapi juga pemerintah daerah yang kehilangan potensi penerimaan.
Salehuddin menekankan perlunya keterlibatan semua pihak, mulai dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), hingga Aparat Penegak Hukum (APH), untuk menghentikan praktik semacam ini.
“Kita tidak bisa menunggu terlalu lama. Harus ada upaya perbaikan sedikit demi sedikit agar tambang-tambang ilegal ini bisa ditertibkan. Pemerintah provinsi, Forkopimda, hingga APH harus terlibat aktif. Kalau dibiarkan, dampaknya akan semakin luas, baik bagi masyarakat maupun generasi mendatang,” katanya.
Dia juga menegaskan bahwa pengawasan dan regulasi yang ada harus benar-benar ditegakkan.
Menurutnya, selama ini kasus-kasus tambang ilegal kerap berhenti hanya di satu atau dua orang pelaku, sementara aktor utama dan jaringan yang lebih besar tetap beroperasi.
“Yang kita lihat, kasus-kasus tambang ilegal itu jarang tuntas. Hanya satu-dua orang yang diproses, sedangkan jaringan di belakangnya masih bebas beroperasi. Ini yang harus kita sudahi bersama,” terangnya.
Dengan kondisi ini, DPRD Kaltim melalui Komisi I berkomitmen untuk terus mendorong pemerintah provinsi mengambil langkah tegas.
Selain pengawasan lapangan, Salehuddin menilai sosialisasi kepada masyarakat juga penting agar mereka tidak lagi terjebak dalam transaksi jual-beli lahan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri.
“Kalau tidak ada ketegasan dan sosialisasi, masyarakat akan terus jadi korban. Mereka terpaksa menjual lahan, tapi kemudian kehilangan sumber penghidupan. Ini yang harus segera diantisipasi bersama,” tutupnya.