infosatu.co
DPRD Samarinda

Kisah Ismail Latisi: Lintasan Panjang Penyapu Jalan Menuju Wakil Rakyat Samarinda

Teks: Ismail Latisi, Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda. (.ist)

Samarinda, infosatu.co – Ismail Latisi, saat ini ia adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Ismail merupakan wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) I (Samarinda Kota, Ilir, dan Sambutan).

Penampilannya bersahaja, tutur katanya tenang, tapi langkahnya penuh arah.

Namun jauh sebelum itu, hidupnya terukir dari peluh di jalanan, ruang kelas, hingga kerja keras tak kenal waktu.

Pria berusia 40 tahun itu lahir dan tumbuh di Samarinda dari keluarga pekerja keras. Memiliki darah Buton dari Ayahnya, La Tisi, seorang sopir angkot; ibunya, Hamidah, ibu rumah tangga yang setia membimbing.

Sejak kecil, sang ayah menanamkan satu visi: “Anak-anakku harus sekolah tinggi. Jangan ulangi nasib bapaknya.” Pesan itu tak pernah hilang dari ingatan Ismail.

Sejak SD, cita-citanya selalu konsisten, menjadi guru agama. Ia menempuh MTs, lalu ke MAN 2 Samarinda.

Tapi tentu, kehidupan itu dinamis, tak melulu harus terbelenggu oleh rencana awal. Ketika nilai Bahasa Inggrisnya menonjol, ia pun memilih jalur berbeda.

“Waktu itu saya sadar, saya bisa jadi guru Bahasa Inggris. Nilai saya tinggi, dan jalur prestasi terbuka,” ujarnya.

Ia akhirnya kuliah di FKIP Universitas Mulawarman pada 2003 melalui program PBUD Penjaringan Bibit Unggul Daerah. Kurang lebih saat ini dikenal dengan jalur undangan.

Namun belajar bukan satu-satunya aktivitasnya. Sejak 2002, saat duduk di kelas dua SMA, Ismail mulai bekerja sebagai penyapu jalan di Dinas Kebersihan Pasar (kini DLH).

Ia menggantikan kakaknya yang masuk TNI.

“Saya nyapu jalan usai Subuh, tetap sekolah dan kuliah. Saya tahu, itu cara saya bantu orang tua. Dan saya nggak pernah malu,” katanya.

Selang tiga tahun, Ia berhenti pada 2005 karena harus menuntaskan kuliah kerja nyata (KKN) ke Tarakan.

Tahun 2006, sebelum lulus kuliah, ia melamar sebagai guru agama di SMK Al-Khairiyah.

Ia sampaikan peluang tersebut muncul dari sebuah ajakan. Meski kuliahnya jurusan Bahasa Inggris, ijazah MTs dan MAN membuatnya layak. Ia diterima.

“Saya ngajar di sana sampai 2017. Siangnya dari jam 1 sampai 6 sore. Paginya, saya ngajar di SMP YPS, lalu lanjut ke MTs Yassin sampai 2016,” kenangnya.

Tak cukup itu, Ia juga menjadi dosen malam di STIESAM dan STIMIK SPB Airlangga. Bahkan sempat mengajar di Balai Rehabilitasi Narkoba Tanah Merah.

“Ya bagaimana lagi? Kita harus jadi pemburu dolar bahasanya,” selorohnya.

Pada 2016, ia diajak membangun SMA Granada dari nol. Sekolah yang saat ini cukup dikenal sebagai sekolah unggul, berada di Japan Ringroad No.3, Bukit Pinang, Kec. Samarinda Ulu, Kota Samarinda.

“Kepala sekolahnya nawarin bantu membesarkan Granada. Butuh waktu dua bulan sampai saya jawab, Bismillah,” katanya.

Di sana, ia menjadi guru Bahasa Inggris sekaligus Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum dan Kesiswaan. Karena jumlah siswa masih sedikit, dua jabatan itu ia tangani sendiri.

Tahun 2017, ia memutuskan fokus ke Granada dan pamit dari sekolah sebelumnya.

Sampai akhirnya, pada 2024, Ismail cuti dari Granada karena partai memintanya maju sebagai caleg DPRD.

“Saya nggak resign. Saya izin cuti. Karena saya merasa Granada adalah bagian dari saya. Saya ikut membesarkannya dari awal,” ucapnya.

Ia menjadi anggota DPRD bukan karena ambisi pribadi.

“Di PKS, kita diajarkan bahwa jabatan itu amanah. Tidak diminta, tapi dijalankan kalau diperintah,” jelasnya.

Fakta menariknya, Ia telah menjadi kader PKS sejak SMA tahun 2000, saat partai itu masih bernama Partai Keadilan (PK).

Hingga sampai pada tahun 2018, ia dipercaya menjadi Sekretaris PKS Kota Samarinda.

Tak berselang lama, setelah dua periode memegang jabatan struktural, ia diminta maju sebagai caleg. Keluarganya mendukung penuh.

“Istri saya kader juga, orang tua tahu perjuangan ini. Alhamdulillah, mereka ridha.”

Di DPRD, Ismail ditempatkan di Komisi IV, sesuai latar belakangnya di bidang pendidikan.

Komisi IV adalah salah satu komisi paling strategis karena menangani hal-hal mendasar masyarakat: pendidikan, kesehatan, sosial, dan ketenagakerjaan. Ismail tahu betul, di sinilah denyut rakyat terasa paling nyata.

Ia aktif menyerap aspirasi warga Dapil I. Dalam reses pertamanya, ia menyentuh langsung persoalan dasar warga: air bersih, pemukiman kumuh, mahalnya biaya pemakaman.

Ia mendatangi Perkim dan PDAM, menyampaikan langsung kebutuhan masyarakat di Sidodamai, Sungai Damai, dan Sidomulyo.

“Saya bantu mereka susun proposal, saya suarakan aspirasi mereka. Warga yang tinggal di pegunungan pun berhak atas air bersih seperti warga kota,” tegasnya.

Ia juga mendorong penyelesaian soal mahalnya biaya TPA, yang bisa mencapai Rp6 juta per pemakaman.

Selain di kantor, ia tetap hadir di dunia pendidikan. Meski tak lagi mengajar, ia masih mengisi P5 dan penguatan karakter di SMA Granada. Jiwa gurunya belum padam.

Ia percaya bahwa masa depan bangsa ditentukan dari kualitas pendidikan.

Ia bahkan prihatin atas lemahnya kontrol terhadap konten digital yang berdampak pada anak-anak.

“Usia kelas 4 SD sudah banyak yang nonton konten porno. Ini karena pendidikan orang tua tak sejalan dengan sekolah. Harus ada program parenting,” tegasnya.

Ismail juga menyoroti kesejahteraan guru honorer, terutama di sekolah swasta.

“Kalau insentif minim, guru harus ngajar di banyak sekolah. Akhirnya tidak fokus. Pemerintah harus beri perhatian,” ucapnya.

Ia mendukung penuh insentif Rp500 ribu dari Pemprov dan berharap Kota Samarinda bisa menambah insentif hingga Rp1,7 juta per bulan bagi guru honorer.

Tiga anak yang ia besarkan bersama istrinya bukan hanya buah hati, tapi juga alasan ia terus berjuang di jalan dakwah dan kebijakan.

Mereka adalah warisan dan masa depan yang harus ia jaga. Ia hidup dengan satu moto: “Menebar kebaikan tidak membutuhkan alasan.”

Baginya, kebaikan harus dijalani tanpa pamrih, karena ridho Allah adalah tujuan utama.

“Saya banyak belajar dari kader-kader PKS yang turun ke masyarakat tanpa imbalan. Mereka tidak dikenal publik, tapi mereka tulus. Itu yang saya pegang,” katanya.

Kini, Ismail Latisi tak sekadar guru Bahasa Inggris. Ia adalah suara rakyat, telinga masyarakat, dan tangan yang menjembatani kebijakan.

Dari seorang penyapu jalanan hingga duduk di kursi DPRD, kisahnya membuktikan bahwa pengabdian adalah jalan panjang yang dimulai dari ketulusan.

Bagi Ismail Latisi, jalan menuju perubahan tak selalu harus gemerlap. Satu kegigihan, satu mimpi dalam dada dan satu keyakinan bahwa kebaikan pasti sampai pada tujuannya.

Related posts

Harminsyah: Pengalaman Lebih Utama daripada Umur

Emmy Haryanti

Minim Armada Ambulans, DPRD Soroti Kesiapan Layanan Darurat di Samarinda

Emmy Haryanti

Abdul Rohim Ajak Perangi Narkoba dengan Penguatan Karakter dan Kegiatan Positif Pemuda

Adi Rizki Ramadhan

Leave a Comment

You cannot copy content of this page