Jakarta, infosatu.co – Kementerian Hukum melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memberikan respons atas fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terkait penggunaan sound horeg yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai syariah apabila dijalankan secara berlebihan.
Sekedar diketahui, sound horeg adalah sistem audio rakitan dengan dentuman suara keras yang biasanya muncul di berbagai acara rakyat. Seperti pawai desa, pesta warga, hingga battle sound.
Kenapa sound horeg dilarang, karena dampak kebisingannya sangat mengganggu ketertiban masyarakat dan berpotensi membahayakan kesehatan, terutama merusak fungsi pendengaran dalam jangka panjang.
DJKI menilai, meskipun sound horeg merupakan bagian dari ekspresi seni yang sah dilindungi hukum, pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan norma sosial, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat.
Pernyataan DJKI ini muncul menyusul terbitnya Fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025, yang menyebutkan bahwa penggunaan sound horeg dengan volume tinggi dan disertai unsur kemaksiatan tergolong haram.
Dalam dokumen itu, MUI juga merekomendasikan agar Kemenkum tidak memberikan pengakuan hukum terhadap sound horeg, termasuk dalam bentuk pendaftaran kekayaan intelektual, sebelum ada komitmen perbaikan dan penyesuaian terhadap aturan yang berlaku.
DJKI menanggapi dengan menegaskan bahwa karya seni, termasuk sound horeg, berhak atas perlindungan hak cipta ketika dipertunjukkan ke publik.
Namun, perlindungan tersebut tidak bersifat mutlak dan tetap berada dalam batasan hukum positif yang melarang penyebarluasan karya yang bertentangan dengan kepentingan umum.
“Sebagai bentuk ekspresi seni, sound horeg harus mengikuti pada norma agama, norma sosial, dan ketertiban umum. Jika sudah menimbulkan kerusakan atau permasalahan, tentu bisa dibatasi,” katanya.
“Apalagi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga memuat pembatasan tegas,” ujar Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, pada Jumat, 18 Juli 2025.
Ia kemudian merujuk pada regulasi yang mengatur hal tersebut secara eksplisit.
“Pasal 50 UU Hak Cipta berbunyi setiap orang dilarang melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi ciptaan yang bertentangan dengan moral, agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau pertahanan dan keamanan negara,” lanjutnya.
DJKI tidak menafikan bahwa keberadaan sound horeg memiliki ruang dalam kehidupan masyarakat.
Namun, lembaga ini menekankan pentingnya pengaturan yang bijak dan proporsional.
Menurut DJKI, fatwa MUI Jatim tidak sepenuhnya bersifat pelarangan.
Penggunaan sound horeg untuk kepentingan positif, seperti kegiatan pernikahan, pengajian, atau syiar keagamaan yang dilakukan dengan volume suara yang wajar dan tidak mengandung unsur maksiat, tetap diperbolehkan.
Namun demikian, DJKI menilai bahwa meningkatnya eskalasi permasalahan di lapangan menuntut lahirnya payung hukum yang lebih spesifik.
Regulasi dalam bentuk peraturan daerah (Perda) atau bahkan peraturan pemerintah (PP) dianggap mendesak guna mengatur secara teknis perizinan, pelaksanaan, hingga pengawasan penggunaan sound horeg di ruang publik.
“Jadi yang terpenting adalah mengatur perizinan dan melakukan monitoring saat pelaksanaan sound horeg, sehingga keterlibatan instansi-instansi yang lebih berwenang menjadi sentral terkait hal ini,” kata Razilu.
Dalam konteks perlindungan hak cipta, DJKI juga mengingatkan bahwa penggunaan lagu-lagu milik pihak lain dalam sound horeg seharusnya disertai izin atau pembayaran royalti.
Hal ini untuk melindungi hak para pencipta yang karyanya digunakan dalam kegiatan bernuansa komersial, sekaligus menegaskan pentingnya budaya menghargai kekayaan intelektual.
Sebelumnya, MUI Jatim menetapkan bahwa penggunaan sound horeg dengan intensitas berlebihan berpotensi melanggar hak warga lain, membahayakan kesehatan, dan menimbulkan mudarat.
Dalam fatwa yang mulai berlaku sejak 12 Juli 2025 tersebut, MUI juga mendorong agar penggunaan sound horeg diarahkan untuk hal-hal yang membawa maslahat bagi masyarakat, seperti kegiatan dakwah dan sosial.
Langkah koordinasi antara Kanwil Kemenkum Jawa Timur dan MUI Jatim telah dilakukan pada 16 Juli 2025, sebagai bagian dari upaya menyamakan persepsi dan menjembatani kepentingan antara perlindungan ekspresi seni dan ketertiban sosial.