
Samarinda, infosatu.co – Proyek pembangunan Gereja Toraja di kawasan Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang, Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) masih menuai perdebatan.
Isu ini mencuat ke permukaan setelah muncul keberatan dari sejumlah warga yang mengklaim belum adanya kejelasan hukum dan administrasi terkait proyek tersebut.
Persoalan ini turut menjadi perhatian DPRD Kota Samarinda yang kemudian memanggil para pihak terkait dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Selasa, 8 Juli 2025.
Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan warga RT 24 bersama penasihat hukumnya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), aparatur kelurahan dan kecamatan, serta Kesbangpol.
Penasihat hukum warga Muhammad Sulianto menegaskan, warga tidak dalam posisi menolak pembangunan tempat ibadah tersebut secara mutlak.
Namun, mereka meminta agar prosesnya ditunda hingga persoalan legalitas rampung.
“Warga bukan menolak, tetapi meminta penundaan karena beberapa aspek administratif belum terpenuhi. Selain itu, urgensi pembangunan gereja juga belum dirasakan mendesak,” ujar Sulianto.
Ia menjelaskan, warga RT 24 sebagian besar beragama Islam, sementara penganut agama lain hanya sekitar 14 persen.
Meskipun demikian, menurutnya toleransi di lingkungan tersebut tetap tinggi dan umat Nasrani tetap diberi ruang untuk menjalankan ibadah.
Pihak warga juga mengangkat dugaan adanya pemalsuan tandatangan dalam dokumen persetujuan pembangunan.
Mereka menuding bahwa sebagian warga telah diminta menandatangani surat tanpa informasi jelas tentang tujuan pembangunan gereja.
“Memang sudah ada laporan. Kami berharap hal ini diselesaikan secara musyawarah. Kalau sudah tercapai mufakat, laporan itu bisa kami cabut,” tambah Sulianto.
Ia menegaskan, jika syarat dan prosedur terpenuhi warga tak akan menghalangi rencana pembangunan.
“Kalau semua sudah sesuai aturan dan kebutuhan memang ada, kami sebagai umat Islam tak mungkin menolak. Tapi sekarang ini warga merasa belum waktunya,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua FKUB Samarinda, Muhammad Zain Na’im, menyatakan bahwa rekomendasi yang dikeluarkan pihaknya telah melalui proses panjang dan melibatkan seluruh unsur lintas agama.
“Tim kami turun langsung ke lapangan, verifikasi data dilakukan ketat hingga seminggu. Kalau sudah lengkap dan sah, baru keluar rekomendasinya,” ungkap Zain.
Menurutnya, proses penerbitan rekomendasi dilakukan secara transparan termasuk melibatkan kelurahan dalam penandatanganannya.
“Saya heran kenapa bisa muncul keberatan setelah prosesnya selesai. Kalau memang bermasalah, kenapa lurah dan camat ikut tandatangan? Ini harus diklarifikasi,” ujarnya dengan nada kecewa.
Sayangnya, pihak gereja sebagai pihak yang berencana membangun rumah ibadah tersebut tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
DPRD Samarinda pun menyatakan akan melakukan peninjauan langsung ke lapangan dan menjadwalkan pertemuan lanjutan agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan baik.