infosatu.co
NASIONAL

Pengusaha Tekstil Tuding Kinerja Buruk Bea Cukai Biang Kerok Badai PHK Industri

Teks: (sumber foto: KSNW)

Jakarta, infosatu.co – Pelaku industri perstektilan nasional menuding kinerja buruk dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu (DJBC Kemenkeu) menjadi salah satu biang kerok terjadinya badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah perusahaan selama dua tahun terakhir.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa hal ini dapat terlihat jelas dari data trade map yang mana gap impor tidak tercatat dari China terus meningkat USD 2,7 miliar pada 2021 menjadi USD 2,9 miliar (2022). Kemudian, diperkirakan mencapai USD 4 miliar pada 2023.

“Kita bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan,” kata Redma dalam keterangan tertulis diterima infosatu.co, Kamis (20/6/2024).

Ia menilai pernyataan dari Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang sebelumnya menyebut penyebab badai PHK adalah praktik dumping luar negeri sebagai upaya pengalihan isu. Terutama dalam menutupi kegagalannya membersihkan DitJen Bea Cukai.

Kendati demikian, pengusaha tekstil juga tidak menampik adanya praktik dumping tersebut yang dilakukan oleh Cina karena oversupply yang sangat besar.

“Tapi aneh juga, sudah tahu ada dumping tapi perpanjangan safeguard tekstil yang sudah direkomendasi Menteri Perdagangan malah mandeg di meja Bu Sri lebih dari satu tahun,” ujarnya.

“Tapi kita tunggu apa yang akan dilakukan Bu Sri dalam menghadapi badai PHK di sektor ini. Karena dalam dua tahun terakhir sudah tiga surat dilayangkan API dan APSyFI untuk bertemu Menkeu dan DirJen Bea Cukai, sama sekali tidak ada respon,” lanjut Redma.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman. Ia menyatakan, banjir impor dalam dua tahun terakhir sangat keterlaluan hingga 60 persen anggotanya yang merupakan industri kecil menengah sudah tidak lagi beroperasi.

Sedangkan sisanya hanya jalan di bawah 50 persen. “Pasar dalam negeri kita baik offline maupun online disikat semua oleh produk impor yang harganya tidak masuk akal,” ungkap Nandi.

Pihaknya sangat yakin barang impor tersebut masuk dengan cara ilegal, karena harganya sangat murah. Bahkan dijual dibawah harga bahan bakunya.

“Kalau impor garmen resmi kan ada PPN, bea masuk plus bea safeguard-nya. Jadi, tidak mungkin per potongnya dijual di bawah harga Rp 50.000,” jelas Nandi.

Dengan harga yang sangat murah ini, para pengusaha baik IKM maupun perusahaan besar tidak akan kuat menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Makanya, Nandi tidak heran kalau banyak perusahaan melakukan PHK bahkan menutup pabriknya.

“Saya yakin kalau pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal. Maka, IKM Indonesia akan maju,” ucap Nandi.

Related posts

Kasus Satria Arta, Menkum: Jadi Tentara Asing, Langsung Bukan WNI

Adi Rizki Ramadhan

Prabowo Resmikan Koperasi Merah Putih: Langkah Awal Menuju Kedaulatan Ekonomi Rakyat

adinda

Harvesting Hope, Kemitraan Riset Indonesia-Australia Solusi Bagi Petani Garam di Madura

Dewi

Leave a Comment

You cannot copy content of this page