infosatu.co
Diskominfo Kutim

Pemkab Kutim Susun Aturan Baru untuk Kendalikan Ekspansi Toko Modern

Teks: Kepala Disperindag Kutim, Nora Ramadani

Kutim, infosatu.co – Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mulai merapikan kembali tata kelola perizinan toko modern setelah hampir sepuluh tahun kewenangan daerah tersisih oleh sistem perizinan nasional.

Sejak penerapan online single submission, Risk Based Approach (OSS RBA) ratusan izin usaha muncul otomatis tanpa verifikasi teknis maupun penilaian terhadap dampaknya bagi pedagang kecil.

Kondisi itu menyebabkan pertumbuhan gerai waralaba melaju tanpa arah dan memicu ketegangan di tingkat akar rumput.

Di sejumlah ruas utama Sangatta hingga beberapa kecamatan lain, jaringan toko modern menjamur dalam jarak berdekatan.

Logo Indomaret, Alfamart, hingga Alfamidi berdiri sejajar, kadang hanya terpisah beberapa meter dari warung kelontong atau pasar rakyat.

Lanskap ini berubah cepat dan menimbulkan kecemasan bagi pelaku usaha tradisional.

Keresahan itu sempat memuncak pada 2023 ketika asosiasi pedagang kecil menggelar protes dan menuding pemerintah daerah memberi restu atas ekspansi tersebut.

Namun, aparat daerah menegaskan persoalannya justru terletak pada sistem perizinan nasional yang tidak memberi ruang bagi mereka untuk melakukan penyaringan.

“Waktu itu kami dituduh memberi izin. Padahal, sesuai PP Nomor 5 Tahun 2021, untuk kegiatan risiko rendah seperti toko modern, izin otomatis keluar hanya dengan Nomor Induk Berusaha (NIB),” ungkap Koordinator Penata Perizinan DPMPTSP Kutim, Arianto Relax, di Sangatta, baru-baru ini.

Menurut Arianto, OSS memang dirancang untuk merangsang investasi dengan proses sederhana. Namun, bagi daerah seperti Kutim, konsep kemudahan itu membuat pemerintah kehilangan kendali terhadap tata ruang dan keseimbangan pasar.

“Begitu pelaku usaha mengisi data di OSS, tiga hari kemudian izin terbit otomatis tanpa bisa kami verifikasi. Tidak ada mekanisme penyaringan,” ujarnya.

Situasi tersebut bertahan selama bertahun-tahun hingga kebijakan nasional kembali berubah.

Pemerintah pusat melalui PP Nomor 28 Tahun 2025 menambahkan dua prasyarat baru sebelum izin usaha diterbitkan yakni konfirmasi kesesuaian ruang serta penapisan aspek lingkungan melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Kalau dulu bisa langsung keluar NIB, sekarang wajib lewat dua tahapan itu dulu,” jelas Arianto.

“Dengan begitu, daerah bisa memfilter apakah lokasi yang diajukan sesuai rencana tata ruang dan aman secara lingkungan,” sambungnya.

Namun, perubahan mekanisme itu tidak otomatis memberi kewenangan penuh kepada daerah.

Pemkab Kutim tetap membutuhkan landasan hukum lokal agar proses verifikasi teknis dapat berjalan.

“Kalau tidak ada Perbup, sistem tidak mengenali dasar verifikasi daerah. Akibatnya, izin tetap otomatis,” bebernya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kutim, Nora Ramadani, menyebut kekacauan perizinan toko modern sebenarnya sudah berlangsung sejak penerapan OSS pada 2018.

Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014 yang mengatur Izin Usaha Toko Modern tak lagi relevan karena masih berbasis mekanisme manual.

“Perbup nomor 6 tahun 2014 itu mengatur tentang Izin Usaha Toko Modern (IUTM) masih berbasis izin manual, belum berlaku OSS yang perizinan online,” katanya.

“Namun karena tahun 2018 pemerintah pusat menerapkan perizinan online yang berbasis nasional, maka dengan sendirinya Perbup nomor 6 tahun 2014 tadi tidak relevan lagi,” ujar Nora.

Tanpa aturan baru, pengajuan izin dari jaringan waralaba terus mengalir dan otomatis disetujui sistem.

“Jadi 105 toko modern yang ada saat ini di Kutai Timur saya sudah lihat semuanya di data PTSP, semuanya terbit otomatis tanpa verifikasi,” katanya.

Kondisi itulah yang mendorong Pemkab Kutim menyusun Perbup baru tentang Penataan dan Pengendalian Toko Modern.

Aturan ini diharapkan menjadi pintu masuk bagi pemerintah daerah untuk kembali melakukan verifikasi izin sebelum toko modern berdiri.

Dalam draf Perbup terbaru, pemerintah memasukkan sejumlah kriteria penataan.

Aturan jarak menjadi salah satu poin strategis: toko modern wajib berada minimal satu kilometer dari pasar rakyat dan tidak boleh berdiri berdampingan dengan toko modern lainnya, dengan batas minimal sekitar 500 meter.

Selain itu, jam operasional juga diperketat. Nora menjelaskan, pengaturan itu ditujukan agar usaha kecil yang beroperasi malam hari tetap memiliki ruang hidup.

“Kalau sudah 24 jam begitu kasihan juga yang seperti di Jawa kita kenal Warung Madura, kalau di sini kita lihat Warung Daeng. Walaupun nanti segmennya mereka adalah sama-sama menjual makanan minuman. Tapi paling tidak, dengan ada jam operasional tadi yang kita batasi sampai jam 10 malam,” katanya.

“Atau mungkin di malam Minggu, malam Sabtu boleh sampai jam 11 saja. Paling banter jam 11 malam (23.00). Selebihnya mereka harus tutup,” ujar Nora.

Syarat lain mencakup penyediaan lahan parkir memadai: minimal empat mobil dan sepuluh motor. Tanpa memenuhi ketentuan itu, izin tidak akan diterbitkan. Pemerintah juga mewajibkan kemitraan dengan UMKM lokal.

Dalam enam bulan setelah beroperasi, toko modern harus sudah menjalin kerja sama, misalnya dengan menyediakan ruang usaha kecil di area depan.

“Diharapkan toko modern tadi misalkan kalau sudah diberi izin, maka selama 6 bulan setelah mereka operasional paling tidak sudah menjalin kerja sama dengan UMKM. Misalkan dengan menyewakan semacam kedai mini di depannya,” sebut Nora.

Nora mengaku penyusunan Perbup baru ini merupakan komitmen yang ia nyatakan sejak awal menjabat.

“Waktu saya mengikuti asesmen Kepala Dinas, saya berjanji kepada Pak Sekda akan menata ulang izin toko modern. Sekarang, janji itu kami wujudkan,” ucapnya.

Proses perumusannya melibatkan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti DPMPTSP, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perhubungan, serta Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Koordinasi itu tidak selalu mulus, namun setidaknya seluruh instansi menyadari dampaknya bagi pedagang kecil.

“Biasanya ego sektoral muncul. Tapi kali ini semua sepakat, karena kita sadar dampaknya besar bagi pedagang kecil,” ujarnya.

Jika kelak Perbup disahkan, Kutim menjadi salah satu daerah pertama di Kalimantan Timur yang mengembalikan kendali perizinan toko modern ke tangan pemerintah daerah. Bagi Pemkab, tujuannya bukan menghentikan investasi, melainkan mengembalikan keseimbangan ekosistem perdagangan.

“Pedagang tradisional tidak anti terhadap toko modern. Mereka hanya butuh ruang yang adil untuk bertahan,” imbuhnya.

Pemerintah daerah menyampaikan harapan bahwa aturan baru ini dapat mengakhiri masa ketika izin usaha terbit otomatis tanpa kendali selama sepuluh tahun terakhir.

Mereka menegaskan bahwa melalui Perbup tersebut, daerah nantinya memiliki dasar hukum untuk melakukan verifikasi sesuai syarat dan ketentuan yang telah disiapkan, sehingga izin tidak lagi keluar otomatis.

Pemerintah juga menjelaskan bahwa permohonan yang tidak memenuhi ketentuan jarak bakal tertolak oleh sistem, terlebih karena ketentuan itu sudah dimasukkan dalam RDTR sehingga setiap lokasi yang tidak memenuhi radius minimum akan otomatis ditolak. (Adv).

Related posts

Kinerja Gemilang, TP PKK Kutai Timur Dominasi Penghargaan Tingkat Provinsi

Martinus

Festival Pesona Budaya 2025 Dibuka, Kutim Teguhkan Identitas dan Harmoninya

Martinus

Pemkab Kutai Timur Perketat Evaluasi Pengelolaan Satu Data

Martinus

Leave a Comment

You cannot copy content of this page