Samarinda, infosatu.co – Istilah “No Viral No Justice” merupakan fenomena baru di masyarakat yang mengkritik lambannya proses penegakan hukum pada suatu permasalahan atau kasus.
Ungkapan tersebut muncul sebagai respon masyarakat terhadap pilihan untuk mencari keadilan dengan bantuan publik. Fenomena ini mengundang perhatian Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Jaringan Media Siber Indonesia Kalimantan Timur (Kaltim) Paulinus Dugis.
Menanggapi istilah “No Viral No Justice”, ia menyatakan bahwa sebuah kasus membutuhkan atensi atau perhatian masyarakat luas.
“Masyarakat mencari faktor eksternal agar (suatu kasus) ditangani. Hal ini wajar karena ada oknum-oknum penegakan hukum di Indonesia yang stuck, tidak ada progress,” ujarnya usai menghadiri acara Podcast Ngobrol Inspirasi (Ngopi) Insitekaltim di S Caffee, Jumat (17/5/2024).
Paulinus mencontohkan kasus Vina yang sempat mandek selama delapan tahun. Lantas, kembali viral setelah diangkat ke layar lebar oleh Anggy Umbara dalam film bertajuk, “Vina Sebelum 7 Hari, A True Story Revealed by Vina’s Spirit” yang rilis tahun ini.
“Kasus Vina tahun ini menjadi pertanyaan ke mana dari kemarin-kemarin? Kenapa sekarang baru ditetapkan DPO?,” tanyanya.
“Inilah yang saya katakan sekarang bahwa memang kehadiran media sosial itu sangat berdampak,” Paulinus menambahkan.
Ia menilai bahwa ‘the power of netizen’ saat ini benar-benar membuat tidak ada lagi yang berani bertindak seenaknya.
“Kalau dulu, ketika orang tua memiliki jabatan tertentu mereka bisa semaunya. Tapi sekarang, itu enggak bisa lagi. Karena segala sesuatu tindakan kita itu dipantau langsung oleh masyarakat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Paulinus juga menyoroti cepatnya sebaran informasi saat ini jika dibandingkan dengan sebelumnya. Itulah yang menyebabkan berita cepat viral.
“Kalau zaman dulu itu, ketika dapat berita harus tunggu besok dulu karena dimuat di koran. Sekarang, saat ini dapat berita, saat itu juga bisa dimuat lalu disebarkan,” paparnya.
Tak berhenti di situ, istilah “lebih baik viralkan daripada laporkan” yang muncul mengundang pro dan kontra. Pernyataan ini memunculkan opini tentang tidak efektifnya penegakan hukum. Juga, anggapan tentang kinerja oknum penegak hukum sengaja menunggu viralitas dalam bertindak.
Menanggapi itu, Paulinus menekankan bahwa melaporkan tetap menjadi solusi utama. Dia mengamati bahwa dalam pengalamannya, tindakan penegakan hukum telah menjadi lebih cepat dan responsif terhadap laporan langsung.
“Menurut saya lebih bijak laporkan, baru viralkan. Tindakan tersebut sebagai bentuk atensi terhadap aparat penegak hukum,” tuturnya.
Menutup penyampaiannya, Paulinus mengingatkan masyarakat akan pentingnya berpegang pada prinsip negara hukum. Dalam hal ini setiap tindakan warga harus selalu diatur oleh hukum khususnya UU ITE. Ia menekankan bahwa menggunakan media sosial dengan bijak adalah kunci.
“Karena apa yang dianggap benar oleh satu individu belum tentu benar menurut hukum, dan tindakan yang tidak bijak dalam memviralkan suatu peristiwa dapat berdampak negatif pada proses hukum. Maka bijaklah bersosial media,” tutupnya.