Samarinda, Infosatu.co – Keberadaan 306 tenaga Bakti Rimbawan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur (Kaltim) kini menghadapi tantangan keberlanjutan, bukan hanya soal status kepegawaian, tetapi juga kepastian pembiayaan.
Seluruh gaji mereka selama ini ditopang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim, yang bersumber dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH-DR) pemerintah pusat.
Asisten Perekonomian dan Administrasi Pembangunan Setdaprov Kaltim, Ujang Rachmad, mengungkapkan bahwa skema pendanaan melalui DBH-DR membuat keberlanjutan pembayaran gaji Bakti Rimbawan sangat bergantung pada transfer pusat.
Oleh karena itu, proses perencanaan anggaran harus dipastikan jauh-jauh hari.
“Kami ingin memastikan tahun 2026 seperti apa kelanjutannya, karena penganggaran diproses dari sekarang sementara mereka harus digaji tahun depan,” terangnya dalam rapat bersama DPRD Kaltim, Selasa 19 Agustus 2025.
Ia menambahkan, penempatan dan pengupahan tenaga Bakti Rimbawan selama ini memang sudah berjalan lancar.
Dinas Kehutanan Kaltim tetap membayarkan gaji tepat waktu tanpa kendala. Namun, ketidakpastian status mereka membuat perencanaan jangka panjang semakin mendesak.
“Selama ini tidak ada keterlambatan pembayaran. Tapi untuk jangka panjang, kita harus memutuskan apakah skema tenaga rimbawan ini tetap ada atau tidak,” lanjutnya.
Menurutnya, Pemprov Kaltim berencana mempercepat proses evaluasi terhadap keberlanjutan tenaga Bakti Rimbawan.
Evaluasi ini penting agar keputusan mengenai status maupun pembiayaan bisa diambil lebih jelas pada tahun-tahun berikutnya.
“Proses evaluasi menjadi salah satu prosedur yang wajib dilalui. Apakah tenaga rimbawan tetap dipertahankan atau ada pola baru, itu harus ditentukan,” ujarnya.
Di sisi lain, meski gaji lancar, para tenaga honorer masih diliputi ketidakpastian. Tanpa adanya status yang jelas, mereka tetap berada pada posisi rawan setiap kali terjadi perubahan kebijakan pusat terkait alokasi DBH-DR.
Bila dana transfer terganggu, maka konsekuensinya akan langsung dirasakan para tenaga Bakti Rimbawan.
Situasi ini juga menimbulkan dilema bagi Pemprov Kaltim. Di satu sisi, tenaga rimbawan memiliki peran strategis dalam menjaga kelestarian hutan dan menjalankan program-program kehutanan daerah.
Di sisi lain, mekanisme keuangan yang bergantung pada pusat membuat daerah tidak sepenuhnya leluasa mengambil keputusan.
Meski begitu, dia menegaskan Pemprov tidak pernah memiliki niat untuk memberhentikan tenaga Bakti Rimbawan.
Seluruh kebijakan yang ditempuh justru diarahkan untuk memastikan hak mereka tetap terlindungi.
“Tidak ada ancaman pemutusan. Jangan berpikir pemerintah tidak empati. Kami berjuang untuk mereka, tapi ada aturan dan sumber dana yang harus dipatuhi,” tegasnya.
Dengan kondisi ini, masa depan Bakti Rimbawan bukan hanya soal pengangkatan sebagai PPPK atau ASN, tetapi juga soal bagaimana skema anggaran disusun agar lebih berkelanjutan.
Pemerintah daerah menunggu arahan lebih lanjut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kementerian PAN-RB, sembari menyiapkan strategi penganggaran di tingkat provinsi.
Ketidakpastian ini juga menjadi catatan penting bagi DPRD Kaltim.
Sebagai lembaga legislatif, DPRD berperan dalam memastikan pengawasan anggaran dan kebijakan terkait tenaga honorer tetap berpihak kepada kepentingan daerah.
Dengan demikian, keberlanjutan tenaga Bakti Rimbawan kini bergantung pada dua faktor utama: koordinasi kebijakan pusat terkait status kepegawaian, dan kemampuan daerah memastikan ketersediaan anggaran dari pos DBH-DR.
Tanpa kepastian keduanya, posisi 306 honorer di Dishut Kaltim tetap berada dalam situasi yang rentan.