
Samarinda, infosatu.co – Pernikahan dini yang masih marak terjadi di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi sorotan.
Kali ini, Komisi IV DPRD Samarinda bersama Forum Alumni Korps HMI-Wati (Forhati) menggelar audiensi yang membahas fenomena tersebut di Ruang Rapat Utama Lt 2 DPRD Samarinda.
Diskusi tersebut menyoroti tingginya angka pernikahan di bawah umur serta upaya untuk mencari solusi konkret dalam mengatasi permasalahan ini.
Presidium Forhati Samarinda Warkhatun Najidah menjelaskan bahwa pernikahan dini membawa dampak serius dalam masyarakat.
Hal ini, seperti meningkatnya risiko kematian ibu dan bayi, terputusnya pendidikan, hingga melanggengkan siklus kemiskinan serta ketidaksetaraan gender.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (FH Unmul) ini mengingatkan bahwa persoalan ini tidak hanya memengaruhi individu tetapi juga generasi mendatang. Najidah menekankan bahwa Samarinda memerlukan langkah nyata untuk memutus siklus pernikahan dini ini.
Data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Kota Samarinda–Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Tahun 2024 menunjukkan sebanyak 125 permohonan dispensasi nikah melibatkan pengantin berusia 13 hingga 15 tahun.
Tak hanya itu, sekitar 30.000 pernikahan di bawah tangan yang dilakukan dengan bantuan “penghulu kampung” tanpa prosedur hukum juga turut memperparah keadaan.
Bahkan, angka pernikahan dini di Samarinda mencapai 25 persen, melebihi rata-rata nasional yang berada di angka 24,4 persen.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Sri Puji Astuti menyampaikan bahwa pihaknya menerima berbagai usulan dari Forhati terkait penanganan pernikahan dini. Untuk menjalankan usulan tersebut, diakuinya menghadap tantangan cukup besar.
“Kami menerima usulan dari teman-teman Kohati semuanya, hanya saja memang itu tidak mudah tentunya,” ujar Sri Puji Astuti, Selasa (24/12/2024).
Dalam audiensi itu, Forhati mengusulkan sejumlah langkah strategis untuk menekan angka pernikahan dini.
Hal ini meliputi, penguatan peran ibu dalam keluarga, pengawasan ketat oleh Disdukcapil terhadap pernikahan usia muda. Selain itu, penyediaan tenaga psikolog di puskesmas, serta edukasi parenting berbasis sekolah.
Rekomendasi ini dinilai relevan dengan kebijakan di daerah lain, seperti Yogyakarta yang telah mengintegrasikan layanan psikologi klinis melalui Peraturan Wali Kota Nomor 29 Tahun 2010.
