
Samarinda, infosatu.co – DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) mengesahkan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024 menjadi Peraturan Daerah (Perda) dalam Rapat Paripurna ke-27, Senin, 28 Juli 2025, di Gedung DPRD Kaltim.
Pengesahan ini disertai catatan tajam dari Badan Anggaran (Banggar), terutama terkait tingginya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) dan bertambahnya temuan hasil audit BPK RI.
Dalam laporan yang disampaikan Kepala Bagian Persidangan dan Perundang-undangan DPRD Kaltim, Suriansyah, Banggar mengapresiasi capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang kembali diraih Pemprov Kaltim.
Namun, catatan audit BPK menunjukkan adanya peningkatan temuan menjadi 27 poin dan 63 rekomendasi, mengindikasikan persoalan dalam sistem pengendalian internal dan kepatuhan administratif.
“WTP bukan berarti tanpa masalah. Temuan dan rekomendasi BPK tahun ini justru meningkat. Ini mengindikasikan kelemahan sistem pengendalian internal dan kepatuhan yang perlu dibenahi,” ujar Suriansyah dalam forum.
Banggar juga menyoroti besarnya Silpa 2024 yang mencapai Rp2,59 triliun.
Menurut DPRD, besarnya Silpa tidak mencerminkan efisiensi, melainkan menunjukkan gagalnya realisasi program akibat lemahnya perencanaan atau pelaksanaan yang tidak optimal.
“Belanja yang tidak terserap bukan karena efisiensi, tapi akibat kegiatan gagal dilaksanakan, perencanaan tidak matang, atau pemenang pekerjaan wanprestasi,” tambahnya.
Realisasi pendapatan daerah 2024 tercatat sebesar Rp22,08 triliun atau 104,07 persen dari target Rp21,22 triliun. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurun dari tahun sebelumnya, yakni hanya Rp10,23 triliun dibanding tahun 2023 sebesar Rp10,33 triliun.
Banggar mendorong Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) mengembangkan strategi inovatif untuk mengejar target PAD 2025 sebesar Rp10,03 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja hanya mencapai Rp20,46 triliun dari target Rp22,19 triliun atau sekitar 92,19 persen.
Komposisi belanja menunjukkan dominasi pada belanja operasional sebesar Rp9,33 triliun, sedangkan belanja modal hanya Rp4,87 triliun.
Kondisi ini dikritik DPRD karena dinilai belum berpihak pada pembangunan jangka panjang.
“Tingginya porsi belanja operasional menunjukkan anggaran lebih banyak digunakan untuk pembiayaan rutin, bukan pembangunan aset atau infrastruktur,” ucap Suriansyah.
Selain itu, DPRD menilai meski 29 dari 34 OPD telah menyerap anggaran di atas 90 persen, namun efektivitas belanja hanya dapat diukur dari seberapa besar dampak program terhadap kualitas pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi.
“Kalau anggaran terserap tapi tidak menghasilkan dampak terhadap pelayanan publik atau pertumbuhan ekonomi, itu artinya tidak efektif,” tegasnya.
Dengan disahkannya Perda ini melalui Keputusan DPRD Kaltim Nomor 41 Tahun 2025, DPRD berharap seluruh temuan BPK dapat ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat serta kualitas pengelolaan keuangan daerah terus diperbaiki.