
Samarinda, infosatu.co – Keberadaan Tugu Pesut di Simpang Empat Lembuswana bukan sekadar ornamen kota, melainkan simbol modernitas dan representasi visi estetika urban yang tengah dibangun di Ibu Kota Kalimantan Timur (Kaltim). Hal itu disampaikan Ketua Komisi lll DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar.
Ia mengatakan desain tugu tersebut mengusung pendekatan kontemporer yang menitikberatkan pada kekuatan simbolik, bukan sekadar kemiripan visual dengan hewan pesut itu sendiri. Gaya siluet minimalis yang diterapkan mencerminkan tren seni modern yang banyak ditemukan di ruang publik kota-kota besar dunia.
“Tugu ini bukan patung pesut dalam arti harfiah. Ia adalah karya seni bergaya siluet yang menyampaikan karakter dan filosofi kota melalui bentuk yang sederhana namun kuat secara visual. Ini bagian dari bahasa estetika global yang juga diterapkan di kota metropolitan lainnya,” ungkapnya belum lama ini
Selain itu, kehadiran Tugu Pesut merupakan bagian integral dari strategi membentuk identitas visual kota yang lebih maju dan berkelas, sejalan dengan arah pembangunan Samarinda menuju kota metropolitan yang modern dan berdaya saing.
Menanggapi perdebatan di media sosial yang membandingkan Tugu Pesut dengan Tugu Biawak, Deni mengingatkan pentingnya melihat karya seni dalam konteks yang utuh, bukan hanya dari aspek bentuk atau anggaran.
“Perbandingan semacam itu tidak adil dan cenderung menyederhanakan makna seni. Setiap karya memiliki konsep, konteks, dan pesan tersendiri. Seni di ruang publik berfungsi membangun karakter dan persepsi kota, bukan sekadar memanjakan mata,” tegasnya.
Tugu Pesut, lanjutnya, tidak hanya merepresentasikan kebanggaan terhadap fauna endemik Mahakam, tetapi juga menjadi simbol transformasi budaya dan visual Samarinda yang sedang melangkah menuju masa depan yang lebih progresif.
“Ini bukan hanya tugu, ini cerminan arah baru kota ini, Samarinda yang tumbuh, berkembang, dan menata citra sebagai kota yang berpikir maju, baik dari sisi infrastruktur maupun ekspresi budaya,” pungkasnya.