
Samarinda, infosatu.co – Program Sekolah Rakyat (SR) yang digulirkan pemerintah pusat mendapat tanggapan kritis dari Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) Anhar.
Ia menilai pendekatan program tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan.
Menurut Anhar, penunjukan suatu wilayah sebagai lokasi Sekolah Rakyat seolah menegaskan bahwa daerah tersebut masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan ekstrem.
“Ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Justru menjadi indikator bahwa ketimpangan sosial di daerah tersebut belum tertangani secara menyeluruh,” ujarnya.
Ia mengkritik strategi pemerintah yang secara terang-terangan memusatkan program tersebut hanya kepada warga miskin.
Bagi Anhar, pendekatan itu justru melanggengkan sekat-sekat sosial dan memberi label yang dapat mempermalukan kelompok tertentu.
“Konsep pendidikan harusnya membaurkan seluruh elemen masyarakat, bukan memisahkan berdasarkan kemampuan ekonomi,” tegas politisi PDI Perjuangan itu.
Lebih jauh, Anhar menilai jika tujuan utama program ini adalah memperluas akses pendidikan, maka pendekatannya harus lebih universal dan bebas diskriminasi.
Ia mencontohkan program pendidikan gratis yang digagas Pemprov Kaltim sebagai model yang lebih layak dicontoh.
“Program seperti Gratispol justru memberikan akses tanpa syarat status ekonomi. Semua berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama,” katanya.
Tak hanya soal pendekatan, Anhar juga menyoalkan efektivitas penggunaan anggaran negara dalam pembangunan sekolah baru untuk kelompok tertentu.
Ia berpendapat, daripada membangun sekolah dengan target terbatas, akan lebih efisien jika anggaran dialihkan ke dalam bentuk beasiswa langsung.
“Dana besar lebih baik diarahkan untuk bantuan tunai kepada siswa. Selain transparan, bantuan seperti ini juga lebih mudah diawasi dan langsung terasa manfaatnya,” ujarnya.
Ia mengingatkan, proyek fisik seperti pembangunan sekolah kerap menjadi celah penyelewengan anggaran.
Sebaliknya, bantuan beasiswa memiliki nominal yang pasti dan risiko korupsinya lebih kecil.
Anhar juga mengkritik penggunaan narasi ”bantuan pemerintah pusat” dalam peluncuran program tersebut.
Baginya, hal itu justru menjadi cermin bahwa pemerataan pendidikan di daerah masih jauh dari kata tuntas.
“Daripada jadi alat pencitraan, program seperti ini seharusnya menjadi evaluasi serius pemerintah pusat. Masih banyak daerah yang belum mendapatkan layanan pendidikan dasar yang layak,” terangnya.
Menutup pernyataannya, Anhar menyerukan agar kebijakan pendidikan di Indonesia tidak eksklusif bagi kelompok tertentu. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang untuk mempertegas perbedaan sosial.
“Seluruh anak bangsa, tanpa memandang latar belakang ekonomi, punya hak yang sama untuk mengakses pendidikan yang bermutu,” pungkasnya.