Samarinda, infosatu.co – Saat sebagian orang hanya menjadikan olahraga sebagai rutinitas pelepas penat, Ragil (21) justru menemukan jalan hidupnya di antara deru langkah kaki para pelari.
Dengan kamera yang selalu menggantung di leher, pemuda itu rutin hadir di dua titik keramaian olahraga Kota Tepian: Teras Samarinda dan GOR Kadrie Oening, Sempaja. Keduanya di Kalimantan Timur (Kaltim).
Di sana, ia bukan sekadar penonton. Ragil adalah pemburu momen detik-detik keringat menetes, senyum lega setelah garis finish, hingga ekspresi spontan warga yang berlari santai.
“Kalau pagi biasanya di Teras Samarinda, sore pindah ke GOR. Itu sudah jadi rutinitas saya,” ujarnya sambil mengarahkan lensa ke arah sekumpulan pelari yang baru saja menyelesaikan putaran.
Ragil memulai semuanya dari kecintaannya terhadap fotografi.
Tak memiliki studio ataupun ruang kerja khusus, ia menjadikan ruang publik sebagai ladang rezeki.
Kamera yang dibelinya dengan tabungan pribadi menjadi modal utama sekaligus rekan kerja setia.
Setiap akhir pekan, ia bisa menghasilkan ribuan jepretan. Namun, jumlah foto yang benar-benar terjual tidak selalu sebanding.
Pada hari biasa, hanya lima hingga delapan lembar foto yang laku. Saat ada event lari besar, baru angka penjualannya melonjak bahkan pernah mencapai ratusan.
“Sekarang sudah banyak fotografer lain juga. Jadi, kalau dapat 50 foto terjual di satu acara. Itu sudah bagus,” katanya.
Menjadi fotografer lepas bukan hanya soal teknik memotret. Ragil mengaku belajar banyak dari interaksi kecil dengan orang-orang yang ia temui.
Tidak semua pelari suka difoto. Ada yang tersenyum dan berpose, tapi ada pula yang dengan tegas menolak. Ragil pun belajar membaca bahasa tubuh sederhana: tangan yang menyilang atau lambaian halus tanda “tidak ingin difoto.”
“Kalau mereka dadah-dadah atau langsung geleng, ya sudah, saya berhenti. Itu bagian dari etika juga,” ucapnya.
Untuk memudahkan pembeli menemukan hasil jepretannya, Ragil mengunggah foto ke aplikasi FotoYu.
Melalui fitur pengenalan wajah otomatis, pelanggan bisa dengan cepat menemukan potret mereka di antara ratusan unggahan.
Di balik layar, teknologi ini menjadi penyelamat waktu bagi Ragil. Ia tak perlu lagi repot memilah atau menjawab satu per satu pertanyaan “Mas, fotoku ada tidak?”
Ragil sadar profesinya tidak menjanjikan kemewahan. Namun, baginya pendapatan harian Rp100 ribu hingga Rp200 ribu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya.
Apalagi, ada kebahagiaan lain yang ia dapat ialah kesempatan bertemu banyak orang dan menyaksikan denyut Samarinda dari balik viewfinder.
“Kalau di Teras Samarinda biasanya lebih ramai. Bisa sampai dua ratus ribu sehari. Itu sudah cukup buat saya,” tuturnya.
Di usia yang masih muda, Ragil memilih jalannya sendiri. Ia tidak mengejar profesi kantoran atau jam kerja teratur.
Sebaliknya, ia membangun hari-harinya dari detik-detik kecil yang sering terlewatkan mata orang lain senyum pelari, lenggokan langkah, hingga tatapan lelah yang penuh kepuasan.
Bagi Ragil, setiap jepretan bukan hanya soal gambar. Itu adalah kisah. Dan di tengah hiruk-pikuk pelari Samarinda, ia menemukan bahwa kisah-kisah sederhana itu bisa menjadi sumber penghidupan.