Samarinda, Infosatu.co – Ancaman rokok dan rokok elektrik (vape) terhadap kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda, terus menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim).
Berdasarkan data yang dipaparkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim, pada 2010 tercatat hampir 200 ribu kematian per tahun akibat rokok di Indonesia.
Guna mempertahankan pasar, industri rokok disebut menargetkan anak-anak dan remaja sebagai konsumen baru.
“Sebanyak Rp11,9 triliun digelontorkan setiap tahun untuk promosi ke anak remaja. Hasilnya, mereka berhasil mendapatkan 3,96 juta perokok baru per tahun, atau setara 10.896 orang per hari, mulai usia 10–14 tahun,” ungkap Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin.
Di Indonesia, prevalensi perokok anak terus meningkat, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Di Kaltim, dampaknya terlihat pada tingginya angka penyakit jantung, stroke, dan hipertensi.
Jaya menjelaskan, nikotin dalam rokok dapat menempel di lapisan pembuluh darah sehingga membuatnya kaku. Akibatnya, tekanan darah meningkat dan memicu hipertensi.
“Kalau sudah kena hipertensi, apalagi ditambah gula darah tinggi, risiko pasang ring jantung atau operasi bypass jadi besar. Di Rumah Sakit AWS dan RS Kanujoso Djatiwibowo, daftar tunggu operasi bisa sampai tiga bulan,” jelasnya.
Tak hanya rokok konvensional, vape juga dinilai berbahaya. Ia menuturkan ada kasus remaja 16 tahun meninggal mendadak diduga akibat kerusakan paru-paru akibat vape.
“Kebutuhan kita yang paling penting adalah udara bersih. Kalau tidak makan kita masih bisa tahan sehari, tapi tanpa oksigen hanya lima menit,” tegasnya.
Kaltim sebenarnya sudah memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang melarang merokok di fasilitas publik, termasuk sekolah, rumah sakit, dan kantor pemerintahan.
Perda ini bahkan memuat sanksi denda hingga Rp50 juta. Namun, implementasinya dinilai masih lemah.
Menurutnya, Satpol PP dan instansi terkait perlu mengawasi pelaksanaan KTR secara tegas.
“Di Singapura, pelanggar area merokok bisa langsung kena denda. Kita pun punya aturannya, tapi belum diterapkan maksimal. Apalagi terminologi vape belum ada di perda, sehingga perlu revisi,” ucapnya.
Dari 10 kabupaten/kota di Kaltim, hanya Kutai Barat yang belum memiliki perda KTR, melainkan baru peraturan kepala daerah.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan Nasional, seluruh daerah diwajibkan memiliki perda KTR yang jelas, termasuk sanksinya.
Selain regulasi, perubahan perilaku masyarakat menjadi tantangan. Jaya menyebut, merokok hampir sama sulitnya dengan lepas dari ketergantungan narkoba.
Butuh proses bertahap untuk berhenti, mulai dari mengurangi jumlah batang per hari hingga benar-benar lepas.
Ia menambahkan, hasil survei kesehatan pada Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kaltim menunjukkan hanya kurang dari 20 persen yang tergolong sehat dan bugar.
Sekitar 40–50 persen berada pada risiko sedang, dan 20–30 persen pada risiko tinggi, termasuk akibat kebiasaan merokok.
Untuk itu, Dinkes Kaltim mendorong kampanye aktif di sekolah dan kantor pemerintahan melalui Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan pembentukan kader anti-rokok.
“Minimal di lingkungan kita, kita hentikan kebiasaan merokok. Kalau di OPD masih ada yang merokok, itu PR besar,” katanya.
Ia berharap penegakan Perda KTR diperkuat, sarana khusus untuk perokok disiapkan agar tidak mengganggu orang lain, dan edukasi bahaya rokok terus disampaikan.
“Generasi unggul harus bebas dari asap rokok. Orang tua yang masih merokok, silakan ambil risiko sendiri, tapi jangan biarkan anak-anak ikut terpapar,” tegasnya.
Dengan data dan regulasi yang ada, Pemprov Kaltim menargetkan ke depan pelaksanaan KTR dapat berjalan optimal, sehingga angka penyakit akibat rokok dan vape menurun.