Samarinda, Infosatu.co – Sengketa informasi publik yang terjadi di tingkat kecamatan dan kelurahan di Kota Samarinda menjadi persoalan yang kerap menghambat terlaksananya keterbukaan informasi secara optimal.

Hal ini menjadi perhatian Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang aktif memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) tingkat bawah.
Komisioner PPID Kaltim, Indra Zakaria, mengungkapkan sejumlah faktor penyebab sengketa informasi di tingkat kelurahan dan kecamatan, salah satunya adalah kurangnya pemahaman dan kompetensi aparatur terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Sering terjadi perbedaan persepsi antara pemohon informasi dan aparatur. Aparatur terkadang menganggap suatu informasi bersifat rahasia, padahal sebenarnya wajib dibuka untuk umum,” ujarnya.
Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran juga turut menjadi kendala yang signifikan.
Banyak kelurahan dan kecamatan di Samarinda tidak memiliki petugas khusus yang menangani pengelolaan informasi, sehingga tugas tersebut dibebankan kepada staf dengan tanggung jawab lain.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya infrastruktur digital seperti sistem pengelolaan informasi atau website yang dapat memudahkan publik mengakses data secara online.
Salah satu isu dominan yang sering memicu sengketa adalah terkait informasi pertanahan dan aset.
Aparatur di tingkat kelurahan dan kecamatan sering kali menghadapi kesulitan dalam menyediakan data yang akurat karena dokumen fisik seperti buku Letter C atau catatan lama yang tidak tertata dengan baik.
“Dokumen yang usang dan kurang terorganisir membuat informasi sulit disampaikan dengan tepat. Belum lagi peran hukum yang membatasi kewenangan kelurahan dan kecamatan dalam urusan pertanahan,” jelasnya.
Ia menambahkan, sifat sensitif informasi pertanahan juga menjadi alasan aparatur kadang menolak memberikan informasi, untuk menghindari konflik horizontal di masyarakat, terutama bila terkait klaim tumpang tindih atau sengketa kepemilikan yang panjang.
Namun, menurut Undang-Undang KIP, informasi yang tidak melanggar privasi tetap harus disediakan.
Lebih lanjuta, Ketua KI Kaltim, Imran Duse juga turut menyampaikan, buruknya dokumentasi dan administrasi pertanahan di tingkat lokal turut memperburuk masalah.
Kasus sengketa yang sampai ke Komisi Informasi kerap melibatkan dokumen fisik yang telah dicoret-coret tanpa keterangan jelas, menimbulkan kecurigaan dan kesulitan dalam penyelesaian sengketa.
Komisi Informasi Kaltim juga menyoroti belum optimalnya integrasi sistem informasi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan kelurahan.
Hal ini memperpanjang proses permintaan informasi karena data yang dimiliki masing-masing instansi belum saling terhubung.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, sosialisasi dan pelatihan bagi PPID tingkat kecamatan dan kelurahan terus digalakkan.
Komisi Informasi juga mendorong badan publik untuk menyediakan Daftar Informasi Publik yang jelas dan mekanisme uji konsekuensi bagi informasi yang dikecualikan.
Selain itu, edukasi dan partisipasi masyarakat menjadi kunci. Pemberian informasi yang benar tentang prosedur pengajuan permohonan serta sosialisasi hukum pertanahan dapat mengurangi sengketa.
“Kami juga mendorong pembentukan jalur pengaduan yang mudah diakses masyarakat dan kerja sama dengan tokoh masyarakat untuk mediasi,” ujarnya.
Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) Kalimantan Timur yang menempati posisi ketiga nasional menjadi motivasi agar pelayanan informasi publik di semua tingkatan pemerintahan semakin baik dan sengketa dapat ditekan seminimal mungkin.
Dengan peningkatan pemahaman, infrastruktur, dan koordinasi, diharapkan PPID kecamatan dan kelurahan dapat menjalankan fungsi keterbukaan informasi secara maksimal, memberikan layanan terbaik kepada masyarakat, serta mendukung tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.