Samarinda, infosatu.co – Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), meminta seluruh perusahaan di daerah ini untuk tidak menjadikan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai solusi utama dalam menghadapi tekanan efisiensi anggaran atau perlambatan ekonomi.
Kepala Disnakertrans Kaltim, Rozani Erawadi, menyampaikan bahwa saat ini belum ada laporan resmi terkait PHK massal di sektor formal akibat kebijakan efisiensi.
Namun, pihaknya mengakui bahwa ada tren pengurangan jam kerja yang terjadi di beberapa sektor, terutama perhotelan dan jasa konstruksi.
“Sepanjang laporan yang kami terima sampai saat ini, belum ada laporan resmi PHK akibat efisiensi. Tapi yang terjadi adalah pengurangan jam kerja. Itu memang ada,” ujar Rozani di Kantor Gubernur, pada Senin, 30 Juni 2025.
Dia menjelaskan, pengurangan jam kerja adalah langkah kompromi yang saat ini banyak ditempuh oleh perusahaan untuk menghindari dampak sosial ekonomi yang lebih besar.
Ia menyebut, dibandingkan langsung memutus hubungan kerja, langkah pengurangan jam kerja masih memberikan ruang bagi pekerja untuk tetap memperoleh penghasilan, meski jumlahnya disesuaikan.
“Misalnya, dari yang biasanya kerja lima hari menjadi tiga hari. Atau dari delapan jam per hari menjadi enam jam. Jadi ada penyesuaian. Itu tidak ideal, tapi masih lebih baik daripada PHK,” jelasnya.
Dalam kondisi ini, pihaknya menilai bahwa baik perusahaan maupun pekerja sama-sama berupaya menahan diri.
Perusahaan mencoba menjaga keberlanjutan bisnis dengan efisiensi biaya operasional, sementara pekerja tetap memiliki akses penghasilan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Meski demikian, Disnakertrans mengingatkan bahwa upah minimum kota atau kabupaten tetap menjadi acuan dalam perlindungan hak pekerja.
Dalam kasus pengurangan jam kerja, perusahaan tetap wajib memastikan bahwa pembayaran upah tidak melanggar ketentuan upah minimum yang berlaku.
“Kondisi seperti ini kan tidak normal. Tapi yang penting pekerja masih menerima penghasilan, dan potensi PHK bisa ditekan. Semua pihak harus menahan diri. PHK itu jalan terakhir,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa Disnakertrans terus melakukan pemantauan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengajukan laporan efisiensi atau perubahan pola kerja.
Jika nantinya ada PHK, maka perusahaan wajib melaporkan secara resmi kepada Disnakertrans dan memenuhi kewajiban normatif kepada pekerja.
Selain itu, dia menegaskan bahwa efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan harus sesuai prosedur dan tetap memperhatikan hak-hak pekerja.
Pemerintah daerah siap menjadi mediator jika terdapat perselisihan antara buruh dan perusahaan akibat kebijakan efisiensi atau penyesuaian jam kerja.
“Kalau ada laporan PHK atau perselisihan hubungan industrial, kami siap memfasilitasi mediasi. Jangan sampai terjadi pemutusan sepihak tanpa prosedur,” katanya.
Kondisi efisiensi seperti ini, menurutnya, memang tidak ideal bagi pertumbuhan ketenagakerjaan di Kaltim.
Namun, langkah-langkah adaptif seperti pengurangan jam kerja bisa menjadi solusi sementara yang manusiawi di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
Ia juga menyebut pentingnya perusahaan untuk tetap mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Dengan begitu, meskipun jam kerja berkurang, pekerja tetap memiliki perlindungan dasar dari risiko kecelakaan atau PHK mendadak.
Rozani berharap bahwa kondisi ekonomi segera membaik sehingga perusahaan bisa kembali merekrut penuh tenaga kerja dan mengembalikan jam kerja ke kondisi normal.
Dalam jangka panjang, kebijakan ketenagakerjaan harus tetap diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara produktivitas usaha dan perlindungan pekerja. (Adv/Diskominfokaltim).
Editor : Nur Alim