Samarinda, infosatu.co – Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) di Kalimantan Timur (Kaltim), kembali lagi menjadi sorotan. Kali ini rumah sakit swasta yang berada di Kota Tepian itu diduga telah terjadi malpraktik.
Hal itu diketahui saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRPD) Samarinda dengan berbagi pihak di Kantor Sekretariat DPRD Samarinda pada Kamis, 8 Mei 2025.
Kuasa Hukum pasien Ria Khairunnisa, Titus Tibayan Pakalla, mendampingi kliennya dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Kota Samarinda, terkait dugaan malpraktik yang dilakukan oleh seorang dokter bedah di salah satu rumah sakit swasta, RS Darjad Samarinda.
Titus menyampaikan bahwa permohonan mereka untuk menggelar pertemuan telah diajukan sejak sepekan sebelumnya. Namun, pada pelaksanaan RDP tersebut, pihak rumah sakit maupun dokter yang bersangkutan tidak hadir.
“Kami cukup kecewa, karena dari awal tujuan kami mengajukan permohonan ini adalah agar bisa bertemu langsung dengan pihak rumah sakit dan dokter. Namun lagi-lagi mereka tidak hadir, sama seperti sebelumnya ketika kami mencoba meminta penjelasan secara langsung,” ungkapnya.
Titus menyebut bahwa pimpinan rapat memutuskan akan menggelar RDP lanjutan pada pekan depan dengan menghadirkan langsung pihak rumah sakit, dokter, serta perwakilan BPJS Kesehatan.
Ditanyai soal kronologis, Titus menjelaskan bahwa kasus ini bermula ketika Ria mengalami kambuhnya penyakit maag yang dideritanya usai mengonsumsi makanan yang memicu kekambuhan.
Setelah mendapat perawatan awal di Puskesmas Islamic Center dan dinyatakan mengalami gangguan lambung, ia sempat mendatangi beberapa rumah sakit lain, namun karena penuh, akhirnya dibawa ke RSHD.
“Klien kami masuk dalam kondisi lemas dan dehidrasi. Awalnya, perawat menyebut adanya kemungkinan usus buntu, padahal klien kami tidak pernah mendapat diagnosis itu sebelumnya. Dua hari pertama di rumah sakit, dokter belum juga datang,” kata Titus.
Menurutnya, setelah dua hari, dokter akhirnya datang dan menyarankan operasi usus buntu, meski kondisi pasien sudah membaik dan merasa tidak lagi mengalami keluhan lambung.
Saat pasien menolak operasi, pihak rumah sakit menyatakan bahwa jika tidak setuju operasi, maka pasien harus membayar biaya rawat secara pribadi karena tidak bisa lagi menggunakan BPJS.
“Klien kami dalam tekanan, karena tidak punya uang sama sekali. Akhirnya terpaksa setuju dioperasi,” jelas Titus.
Usai menjalani operasi, kondisi pasien justru menurun. Ia mengalami demam tinggi, muntah-muntah, dan sempat pingsan setelah dipulangkan. Ketika kembali ke RS Darjad, rumah sakit menolak merawat dan merujuk pasien ke rumah sakit lain.
“Tapi yang janggal, dalam surat rujukan disebutkan bahwa pasien dalam kondisi stabil dan menolak rawat inap. Padahal waktu itu ia datang digotong dalam keadaan nyaris tak sadarkan diri,” tambahnya.
Titus juga menyoroti absennya prosedur medis dasar sebelum operasi, seperti tes darah dan urin.
“Ini prosedur yang seharusnya wajib dilakukan sebelum tindakan medis besar. Tapi klien kami tak menjalani itu. Sampai sekarang dia masih mengalami komplikasi seperti nyeri buang air kecil dan buang air yang terlalu sering,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengatakan bila tidak ada titik temu dalam proses mediasi, pihaknya siap menempuh jalur hukum.
“Kami merujuk pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasien berhak menolak tindakan medis, termasuk operasi, dan berhak mendapatkan akses terhadap rekam medis,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, Ismed Kusasi, menyatakan bahwa rumah sakit yang dilaporkan masih memiliki izin operasional resmi. Namun pihaknya sudah menerima surat dari RSHD yang menyatakan penghentian sementara layanan.
“Kami sudah menerima surat dari rumah sakit tersebut bahwa mereka menghentikan sementara layanan. Itu inisiatif dari pihak rumah sakit, bukan keputusan dari dinas,” jelas Ismed.
Ia menambahkan bahwa Dinas Kesehatan hadir dalam RDP bukan untuk menilai substansi kasus secara langsung, namun memberikan informasi terkait status izin operasional rumah sakit tersebut.
“Masalah layanan memang punya kanal pengaduannya sendiri. Tapi karena ini menyangkut juga pasien BPJS, maka perlu disampaikan secara terbuka agar tidak menimbulkan kebingungan,” katanya.