infosatu.co
NASIONAL

Khawatir Kembalinya Dwifungsi, Aliansi Perempuan Minta RUU TNI Dibatalkan

Jakarta, infosatu.co – Gabungan organisasi perempuan dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) mendesak pemerintah serta DPR RI untuk menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Isu ini telah menjadi perdebatan di tingkat nasional dalam beberapa waktu terakhir.

Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, yang juga tergabung dalam API, menilai bahwa pembahasan revisi UU TNI dilakukan secara terburu-buru dan minim transparansi.

“Ini merupakan tindakan yang mencederai proses partisipatif perumusan sebuah undang-undang. Terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme (Dwifungsi TNI) di Indonesia,” kritiknya.

Dalam Petisi Tokoh dan Masyarakat Sipil “Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI”, API menyoroti bahwa perluasan peran TNI aktif dalam jabatan sipil dapat memperkuat dominasi militer dalam kehidupan sipil serta berisiko menciptakan kebijakan dan loyalitas ganda.

Selain itu, API menegaskan bahwa perubahan klausul terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menghapus keharusan mendapatkan persetujuan DPR akan menghilangkan peran parlemen sebagai wakil rakyat.

Secara implisit, hal ini dianggap sebagai pengambilalihan kewenangan sipil oleh TNI dalam operasi militer di luar perang.

“Perluasan fungsi militer dalam revisi UU tersebut membangkitkan trauma kolektif kelompok perempuan dan masyarakat Indonesia atas berbagai peristiwa kekerasan yang melibatkan militer di masa Orde Baru maupun pascareformasi,” lanjut Ika.

Ia mencontohkan kasus femisida terhadap Marsinah, yang terjadi akibat praktik Dwifungsi ABRI, di mana militer turut campur dalam perselisihan industri.

Selain itu, berbagai kasus pelanggaran HAM berat juga menunjukkan bagaimana militerisme sering digunakan untuk mempertahankan kendali atas peran gender, yang justru semakin menyingkirkan perempuan dari ruang publik.

Selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM), perempuan sering menjadi korban kekerasan.

Di Aceh, tercatat 117 perempuan mengalami pemerkosaan selama periode DOM berlangsung.

Pola kekerasan serupa juga terjadi di wilayah lain, termasuk Papua dan daerah konflik lainnya, di mana pendekatan militerisme lebih diutamakan dibandingkan penyelesaian berbasis dialog.

API menilai bahwa kekerasan seksual dalam konteks ini bukan sekadar insiden, melainkan strategi untuk menundukkan kelompok tertentu.

Lebih jauh, API menilai bahwa semakin kuatnya dominasi militer dalam birokrasi sipil akan memperumit proses pengusutan pelanggaran HAM yang melibatkan militer.

Selama ini, impunitas menjadi faktor utama yang menyebabkan pola pelanggaran HAM terus berulang.

“Dengan pemaparan di atas, kami menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU TNI! Dan bersikap menolak kembalinya dwifungsi TNI. Usut tuntas segala bentuk pelanggaran HAM di Indonesia,” tegasnya.

Related posts

Kemenkum Sahkan 80.068 Koperasi Merah Putih, Lampaui Target Presiden

Adi Rizki Ramadhan

Penggunaan Sound Horeg Dibatasi, DJKI Dorong Regulasi Khusus

Martinus

Diplomasi Ekonomi Era Prabowo Teruji, Sukses Turunkan Tarif Hingga 19 Persen

Nur Alim

Leave a Comment

You cannot copy content of this page