Samarinda, infosatu.co – Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda berkolaborasi dengan Centre for Climate and Urban Resilience (CeCUR) dalam upaya menangani dampak perubahan iklim yang kian kompleks saat ini.
Sebagai langkah awal, kerja sama yang dilakukan melalui program bertajuk “Embracing The Sun Project” di kawasan Pasar Segiri, Kamis (2/5/2024). Lokasi tepatnya di depan Jembatan Nibung, Jalan Pahlawan.
Proyek Embracing The Sun adalah mendefinisikan ulang ruang publik sebagai solusi mengatasi dampak perubahan iklim global di kawasan perkotaan Indonesia.
Ruang publik tidak hanya berkaitan dengan mitigasi bencana, seperti berkumpulnya warga saat banjir atau gempa bumi. Tetapi, juga sebagian dari strategi adaptasi.
“Setiap tahun juga terjadi peningkatan permukaan gelombang air laut, jadi memang argumentasi pemerintah di antaranya untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan itu tepat,” kata Wali Kota Samarinda Andi Harun.
Ia mengatakan, Singapura saat ini telah melakukan perubahan infrastruktur kota yang kita tidak rasakan dengan mitigasi. Akibatnya, seperti disampaikan bahwa terjadi penurunan permukaan tanah tiap tahun dan kenaikan gelombang permukaan air laut yang cukup signifikan 0 sampai 1 cm.
“Itu bukan angka sedikit, ini sangat signifikan. Singapura sekarang sudah menurunkan kurang lebih sekitar 4 meter ke bawah, kemudian fondasi sudah naik dan itu dirancang dengan teknologi yang sangat bagus. Kami sampai tidak sadar, kalau hari itu Candy Airport sudah berjalan project itu,” tuturnya.
Dengan demikian, di Indonesia khususnya di Kota Samarinda untuk antisipasi tersebut sudah sangat terlambat. Maka, harus ada upaya kesadaran bersama untuk memahami tentang ancaman peningkatan permukaan gelombang air laut.
Bahkan, keadaan lingkungan yang kita hadapi jauh lebih serius daripada sekedar perpolitikan di tanah air ini. Oleh sebab itu, perencanaan kota juga harus selalu mengadaptasi terhadap keadaan tersebut.
Dalam dunia arsitek sekarang dikenal dengan istilah flash making, di mana desain kemajuan kota dan pembangunan kota harus selalu berpusat pada manusia. Hal ini bukan berpusat pada sarana fasilitas kota yang selama ini menjadi center dari semua perencanaan desain tata kota sejak dahulu.
Tak hanya itu, faktor sosiologis juga harus berupaya menemukan solusi atas semua desain arsitektur masa depan agar penduduk tetap hidup di lingkungannya.
“Kawasan beberapa perbukitan di Samarinda dilematis, itu adalah satu sisi kami sadar betul bahwa topografi dan kontur tanah dalam jangka panjang ini berbahaya buat warga,” kata Andi Harun.
“Tapi, di sisi lain tidak mudah bagi pemerintah dan kita semua untuk memisahkan kehidupan yang puluhan tahun di lingkungan, apalagi kita memindahkan pasti akan berada di lingkungan yang asing bagi kita,” tandasnya.