Samarinda, infosatu.co – Materi tentang perbedaan jenis kelamin dan gender, kembali menjadi sorotan dalam kegiatan Penguatan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) yang digelar di Aula Inspektorat Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu 3 Desember 2025.
Narasumber kegiatan, Yulius Hendra, Dewan Pembina Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyampaikan pemahaman mendasar.
Namun sangat penting mengenai bagaimana konstruk sosial membentuk peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Dalam pemaparannya, Yulius menjelaskan bahwa jenis kelamin merupakan sifat kodrati yang membedakan perempuan dan laki-laki sejak lahir.
“Hal-hal seperti vagina, kelenjar Air Susu Ibu (ASI), hamil, melahirkan, haid, dan menyusui hanya dimiliki perempuan,” katanya.
“Sementara sperma, testis, jakun, dan penis hanya dimiliki laki-laki. Ini sifat kodrati yang ditetapkan oleh Tuhan dan tidak bisa dipertukarkan,” jelasnya.
Berbeda dengan jenis kelamin, gender adalah sifat, peran, dan perilaku yang dapat dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki, tergantung nilai dan norma sosial. Yulius mencontohkan banyak sifat yang selama ini dianggap melekat pada salah satu jenis kelamin sebenarnya dapat dilakukan oleh keduanya.
“Berani, melindungi, pemimpin, penyayang, rajin, teliti, semua itu bisa dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Inilah gender,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa gender bersifat sosial-kultural sehingga perannya dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antar wilayah.
Yulius menggambarkan bagaimana konstruksi gender mengalami perubahan besar sepanjang sejarah.
“Pada abad 20, sangat sedikit perempuan yang mengendarai sepeda atau mobil. Tapi sekarang, bukan hanya mengendarai, perempuan sudah menjadi pembalap, pilot, bahkan astronot. Itu bukti peran gender bisa berubah,” ungkapnya.
Yulius juga menegaskan bahwa konstruksi sosial sering kali membentuk anggapan yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Misalnya anggapan bahwa laki-laki selalu tegas dan perempuan selalu lembut.
“Banyak laki-laki malas, sensitif, tidak rapi. Banyak perempuan yang kuat, tegas, dan berani. Sifat-sifat itu bukan kodrat. Itu gender, dan bisa dimiliki siapa saja,” tegasnya.
Menurutnya, konstruksi gender dapat memengaruhi peran dan posisi perempuan serta laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam ruang domestik maupun publik.
“Kita sering menanyakan pekerjaan calon menantu laki-laki, tapi tidak perlu menanyakan apakah ia bisa memasak atau mengurus rumah. Padahal memasak bukan kodrat perempuan, itu gender. Bisa dilakukan siapa saja,” ujarnya.
Lebih jauh, Yulius menyoroti fenomena sosial di Indonesia yang disebut fatherless nation, di mana banyak laki-laki tidak hadir dalam pengasuhan anak. Padahal, menurutnya, merawat anak bukan kodrat perempuan, melainkan peran gender yang bisa dibagi antara laki-laki dan perempuan.
“Kedua orang tua penting dalam membentuk karakter anak. Tapi konstruksi gender sering membuat beban pengasuhan hanya jatuh pada perempuan,” ungkapnya.
Dampak konstruksi gender yang tidak seimbang, menurutnya, dapat menciptakan relasi kuasa yang timpang.
Hal ini terlihat dari dominasi laki-laki di ruang publik dan posisi strategis, sementara perempuan lebih banyak ditempatkan pada peran domestik.
Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi tersebut bisa menimbulkan diskriminasi gender berupa marginalisasi, subordinasi, stereotip, beban ganda, hingga kekerasan.
“Beban ganda adalah salah satu yang paling banyak dialami perempuan. Mereka bekerja di kantor, tapi 90 persen pekerjaan rumah tangga tetap dibebankan kepada mereka. Ini membuat waktu, mobilitas, dan kesempatan perempuan menjadi sangat terbatas,” jelasnya.
Ia juga menyinggung fenomena glass ceiling, di mana perempuan sulit menembus jabatan struktural meskipun jumlah mereka lebih banyak dalam suatu organisasi.
“Bahkan di sektor kesehatan yang pegawainya didominasi perempuan, jabatan struktural tertinggi masih banyak ditempati laki-laki,” katanya.
Namun ia mengapresiasi Kalimantan Timur yang dinilai cukup maju dalam keterwakilan perempuan di jabatan eselon.
“Saya bersyukur tadi disampaikan bahwa posisi eselon I, II, dan III di Kaltim sudah 63 persen perempuan. Itu luar biasa,” ucapnya.
Yulius menutup penyampaiannya dengan menegaskan pentingnya memahami konstruksi gender sebagai langkah awal menghapus kesenjangan dan mendorong kebijakan yang lebih adil.
“Reproduksi adalah kodrat perempuan, tapi produksi dan peran sosial bisa dilakukan siapa saja. Jika peran gender dibagi secara lebih adil, maka kesempatan, akses, dan kontrol atas sumber daya akan semakin setara bagi perempuan dan laki-laki,” pungkasnya.
