
Samarinda, infosatu.co – Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merespon tuntutan warga di Jalan Rapak Indah, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda terkait lahan untuk proyek jalan umum.

Respon wakil rakyat ini setelah beberapa kali warga menggelar aksi demonstrasi hingga penutupan jalan. Rapat dengar pendapat (RDP) dengan warga terdampak akhirnya digelar di Hotel Mesra, Kamis (8/8/2024).
Dalam pertemuan itu juga dihadiri sejumlah pihak terkait. Mereka adalah Kabid Pertanahan Dinas PUPR Kaltim, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim.
Selain itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda, Kabag Hukum Kota Samarinda, lurah, hingga Kuasa Hukum pemilik tanah.
Kuasa hukum warga terdampak proyek jalan umum, Harianto Minda mengatakan bahwa warga telah menggunakan Jalan Rapak Indah sejak namanya masih Jalan Rapak Mahang pada 1965. Dulunya, lahan tersebut digunakan untuk berkebun.
Namun, pada tahun 1995 permasalahan mulai muncul. Saat itu, pemerintah hendak menjadikan jalan tersebut sebagai jalan umum.
Namun, sejumlah warga yang mengaku sebagai pemilik lahan mengatakan tidak ada komunikasi saat proyek dibangun. Akhirnya, jalan warga tersebut terkena dampak proyek. Permasalahan tentang ganti rugi lahan pun muncul hingga sekarang.
Harianto mengatakan bahwa upaya meminta ganti rugi lahan sudah berlangsung sejak 1995 hingga 2002. Saat itu, tengah dilakukan peningkatan Jalan Rapak Indah dengan panjang 3.000 meter dan lebar 20 meter.
“Namun, yang menjadi persoalan adalah status kepemilikan lahan ini milik siapa? Tidak tau apakah milik pemerintah kota atau provinsi,” katanya.
Kabag Hukum Kota Samarinda Asran Yunisran menjelaskan bahwa berdasarkan Surat Keputusan (SK) Pemkot Samarinda pada tahun 2017, status kepemilikan lahan tersebut merupakan milik Pemkot Samarinda.
“Jadi, sebelum tahun 2017 itu tidak ada status kepemilikannya, apakah pemkot atau pemprov,” kata Asran.
Tetapi faktanya, pembangunan jalan tersebut dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemprov Kaltim. Kala itu, alasannya karena banyaknya anggota Korpri yang tinggal di wilayah Loa Bakung saat itu.
Lebih lanjut, daripada memberikan kompensasi pembayaran seperti halnya pada persoalan Ring Road, Asran menyarankan agar persoalan ini dibawa ke ranah pengadilan.
“Mohon maaf, kami tidak bisa serta merta membayar atas hal yang belum jelas. Kami tidak bisa mengikuti keinginan salah satu pihak, karena akan selalu bertemu kebuntuan soal angka,” tuturnya.
Guna memperjelas hal tersebut, Asran menegaskan Pemkot Samarinda akan menunggu sampai ada kewajiban yang konkret secara hukum.
“Dan itu bisa ditemui melalui jalur pengadilan. Setelah ada keputusan yang mengharuskan kami untuk membayar, maka kami akan bayar,” ujarnya.
Sementara itu, tanggapan berbeda datang dari Ketua Komisi I DPRD Kaltim Baharuddin Demmu. Ia justru mengherankan keputusan dari Pemkot Samarinda yang justru mengarahkan persoalan ini ke ranah pengadilan.
“Bagi kami, kenapa harus dibawa ke hukum? Sedangkan tidak ada yang bersengketa. Masa Semisal saya punya lahan, tidak ada yang konflik disana lalu kemudian harus dibawa ke ranah hukum,” ucap Demmu.
Dari hasil RDP yang cukup alot ini, Komisi I DPRD Samarinda meminta kepada warga dan kuasa hukum untuk menginventarisasi semua lahan tersebut.
“Kumpulkan surat kepemilikan mereka, lalu dibawa ke kelurahan untuk pengecekan pasti terkait lahan-lahan yang dimiliki warga,” ujarnya.
“Jika clear disitu, warga diminta untuk memasang patok sesuai dengan ukuran kepemilikan lahan mereka masing-masing,” sambung Demmu. Hal tersebut juga sebagai pemenuhan syarat untuk keluarnya peta bidang dari BPN.
Peta Bidang Tanah merupakan produk hasil pengukuran fisik bidang- bidang tanah di lapangan yang menggambarkan kondisi fisik bidang- bidang tanah mengenai letak.
Kemudian, batas dan luas bidang tanah berdasarkan penunjukan batas oleh pemilik tanah atau yang dikuasakan. “Maka langkah selanjutnya adalah duduk bersama dengan Pemprov dan Pemkot,” tuturnya.
Intinya adalah, lanjut Demmu, Ia meminta warga tak perlu khawatir mengenai bukti kepemilikan lahan. Sebab, pemerintah sudah mengakui lahan tersebut milik masyarakat, sehingga ganti rugi dipastikan dapat diproses.
Terlebih, warga yang memiliki rumah dapat membuktikannya dengan melampirkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB).
“Jika seluruh proses menyatakan kebenaran ini milik lahan rakyat yang dipakai untuk proyek pemerintah, tidak ada kata untuk tidak dibayar,” tutupnya.