Samarinda,infosatu.co – Pagi yang cerah di awal Agustus 2022. Alunan musik rindik sayup terdengar dengan rangkaian notasi indah ramah menyapa setiap tamu. Memberi pertanda bahwa mereka sedang menikmati segarnya udara pagi di Pulau Dewata Bali.
Beberapa turis tampak bercengkerama sambil menikmati beragam menu sarapan ala nusantara dan western. Mereka tampak asyik dan sangat menikmati suasana tradisional Bali.
Meja-meja lainnya pun hampir penuh terisi. Turis asing dari Eropa, Amerika, beberapa juga terlihat dari sesama negara Asia seperti China, Philipina dan Jepang. Wisatawan domestik tentu lebih banyak lagi. Mereka datang dari Sabang sampai Merauke.
Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bali I Gede Dewa Putra menyebut saat ini gairah wisata Bali perlahan mulai menggeliat. Tingkat hunian hotel pun mulai membaik. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik terus meningkat, selepas berbagai pelonggaran diberikan pemerintah karena pandemi Covid-19, yang terus melandai.
Dua tahun terakhir, industri pariwisata Bali, sangat terpukul. Berbagai pembatasan menyebabkan semua aktivitas ekonomi lumpuh.
Pemerintah dan masyarakat Bali sedang berjuang untuk pulih dari hentakan pandemi Covid-19. Perlahan mereka sedang bertransformasi menuju Bali Era Baru yang lebih tangguh. Khususnya dalam fundamental perekonomian.
Beberapa waktu terakhir ini, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali per hari dilaporkan sekitar 8.000 orang. Sementara dalam kondisi normal sebelum pandemi, jumlah kunjungan bisa mencapai 45.000 orang.
Sedangkan kunjungan wisatawan domestik sudah berangsur normal mencapai angka 27.000 orang per hari.
Mengapa Bali? Sebab hingga saat ini pulau yang dikenal memiliki eksotika wisata pantai di dunia itu masih tetap menjadi trademark tersendiri bagi Indonesia.
Bahkan para pelancong dunia lebih mengenal Bali, ketimbang Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan mengira Bali adalah sebuah negara. Begitulah Bali yang begitu mendunia. Kira-kira apa rahasia dari sukses pariwisata Bali yang sejak dulu hingga kini masih memiliki magnet luar biasa itu?
“Budaya yang lestari. Kami bersyukur karena ini yang menjadi magnet besar wisatawan datang ke Bali. Keunikan budaya menjadi salah satu rahasia kami,” ungkap I Gede Dewa Putra.
Budaya Bali menyatu dengan kehidupan pariwisata setempat. Sesajen atau yang biasa disebut canang sari sangat mudah ditemukan di setiap sudut dan ruang, bahkan di sudut-sudut jalan. Sebuah ungkapan syukur dan pengharapan kepada Sang Hyang Widi Wasa, bagi mayoritas penganut agama Hindu di Bali.
Para turis juga bisa dengan mudah menyaksikan patung dan candi-candi kecil yang dibangun di sekitar rumah warga dan kantor-kantor pemerintahan. Adat budaya Bali seperti Upacara Melasti, Ngaben, Hari Raya Saraswati dan lainnya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Secara nasional, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun ini menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) antara 1,8 juta hingga 3,6 juta orang.
Besaran nilai devisa dari sektor pariwisata ditargetkan mencapai USD470 juta hingga USD1,7 miliar atau sekitar Rp6,7 triliun hingga Rp24,31 triliun.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan perlu sejumlah variabel penting untuk mencapai target tersebut. Di antaranya adalah penyediaan infrastruktur pariwisata yang memadai agar dapat menyediakan pariwisata yang berkualitas.
Wisatawan akan membelanjakan uang mereka lebih besar untuk suatu destinasi yang berkualitas. Terutama untuk urusan 3A yaitu Atraksi, Akses dan Amenitas (fasilitas pendukung).
Memang benar, Indonesia tentu bukan hanya Bali. Hamparan pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki pesonanya masing-masing. Ada Labuan Bajo di NTT, Bunaken di Sulawesi Utara, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Pulau Derawan dan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua harus tumbuh menjadi penopang kekuatan ekonomi nasional melalui pengembangan industri pariwisata.
Lantas bagaimana dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)?
Jika Bali memiliki nilai-nilai kearifan lokal dari tradisi dan budayanya yang mampu menjadi daya pikat wisatawan domestik maupun mancanegara, maka semestinya, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam pun bisa melakukan hal yang sama dengan bumbu inovasi yang lebih mumpuni.
Apalagi, bila mengulik data Pemprov Nangroe Aceh Darussalam dalam situs resmi mereka, acehprov.go.id.
Secara geografi, Aceh terletak di ujung barat nusantara. Posisinya strategis sebagai pintu gerbang perniagaan dan kebudayaan dari negara-negara Asia, Timur Tengah dan Barat (Eropa dan Amerika).
Nilai sejarah ini potensial menjadi suatu keunggulan untuk ‘dijual’ di pasar pariwisata nasional dan dunia, bahwa Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang menjadi pintu masuk budaya.
Masih dari situs acehprov.go.id, sekitar abad ke-7, selain berdagang, pendatang dari India juga mengenalkan agama Hindu dan Budha. Dua abad kemudian, pedagang dari Gujarat, Arab datang membawa ajaran Islam. Sejarah pun mencatat Aceh sebagai daerah pertama di Indonesia yang menjadi pintu masuk ajaran Islam.
Kerajaan Islam pertama di Indonesia juga terdapat di Aceh. Yakni Kesultanan Peureulak dan Pasai. Kerajaan ini dibangun pertama kali oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibu kota kerajaan di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang).
Kerajaan Islam ini terus berjaya hingga ke sebagian besar pantai barat dan timur Sumatera, hingga semenanjung Malaka.
Puncak kejayaan Kesultanan Aceh terjadi pada awal abad ke-17 di era pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Saat itu, ajaran agama dan kebudayaan Islam begitu kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, hingga daerah ini kemudian mendapat julukan “Seuramo Mekkah” atau Serambi Mekkah.
Selain memiliki nilai historis yang kuat, Aceh sesungguhnya masih menyimpan banyak potensi pariwisata yang luar biasa. Baik yang masih berkaitan dengan sejarah, macam peristiwa besar yang pernah terjadi di Aceh hingga dikenang ke segenap penjuru dunia, seperti musibah tsunami 26 Desember 2004.
Sesungguhnya Aceh memiliki hamparan potensi wisata yang tak kalah menakjubkan. Ada Museum Tsunami Aceh, Pantai Lampuuk, wisata religi Masjid Raya Baiturrahman, Bukit Lhok Eumpe, Danau Laut Tawar, Air Terjun Pria Laot, Gunung Jaboi, Bur Lancuk Leweng, Pulau Keluang dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hal baik lainnya, budaya hidup masyarakat Aceh dengan penerapan syariat Islam, mestinya bisa terus dikomunikasikan hingga menjadi nilai dan kesan tersendiri bagi para wisatawan agar selalu ingin kembali berkunjung ke Aceh. Bukan sebaliknya, membuat wisatawan enggan datang ke Aceh.
Saya yakin, keterpaduan langkah para pemimpin di pusat dan daerah, bersama masyarakat Aceh untuk membangun seluruh infrastruktur pariwisata dan segenap pendukung yang diperlukan wisatawan akan mengangkat sukses pengembangan sektor pariwisata di provinsi berpenduduk 5,3 juta jiwa itu.
Pembenahan harus dilakukan mulai kesiapan perhotelan, infrastruktur jalan yang baik, ketersediaan sarana transportasi, kenyamanan fasilitas dan suasana di lokasi-lokasi destinasi dan keramahan masyarakat setempat dalam pelayanan kepada para turis agar mereka selalu merasa nyaman dan puas.
Nilai lebih lain yang sangat mungkin bisa menghidupkan pariwisata Aceh adalah melestarikan budaya lokal. Budaya Aceh harus bisa menjadi magnet besar pariwisata di Negeri Seuramo Mekkah, yang indah menawan.
Saya membayangkan, suatu saat bisa duduk santai menikmati secangkir kopi Gayo dan mie Aceh diiringi alunan musik Bungong Jeumpa dan Tari Saman di sudut kota, Negeri Seuramo Mekkah.
Menikmati pariwisata Aceh yang maju mendunia, seperti indahnya Bali hari ini. Semoga.