Samarinda, infosatu.co- Praktik penyebaran informasi pribadi secara ilegal atau dikenal dengan istilah doxing, belakangan ini kembali mencuat di Kalimantan Timur, khususnya di Kota Samarinda.
Fenomena ini tidak hanya mengusik rasa aman masyarakat, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis yang mulai merasakan tekanan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kalimantan Timur, Muhammad Faisal, menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kasus doxing di daerahnya.
Ia mengaku kecewa dengan situasi tersebut, mengingat selama lima tahun terakhir, Kaltim dinilai sebagai daerah yang cukup kondusif dalam hal kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers.
“Saya kecewa karena 5 tahun ini rasanya kita aman-aman aja di Kaltim,” ungkap Faisal saat ditemui di ruang kerjanya di Kantor Diskominfo Kaltim, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda.
Doxing sendiri merupakan tindakan membuka dan menyebarluaskan data pribadi seseorang ke ruang publik tanpa izin, sebuah pelanggaran yang semakin banyak menimpa kalangan jurnalis maupun warga biasa.
Dalam kasus terbaru, Faisal mendengar langsung adanya jurnalis yang menjadi korban doxing dan merasa diintimidasi karena pekerjaannya yang mengkritisi kebijakan publik.
Faisal menilai peristiwa ini sangat disayangkan, apalagi bila dikaitkan dengan prestasi Kalimantan Timur dalam Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Nasional.
Dalam lima tahun terakhir, provinsi ini konsisten berada di posisi teratas dalam penilaian kebebasan pers secara nasional.
“Dua tahun kita peringkat 3, dua tahun kita peringkat 1 dan terakhir kemarin peringkat dua nasional. Sudah peringkat tinggi itu, kawan-kawan di Jawa saja bingung. Wah, ternyata di Kaltim kemerdekaan dan kebebasan pers cukup terjamin gitu loh,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa segala bentuk tindakan yang mencederai kebebasan pers tidak boleh ditoleransi.
Dalam pandangannya, kritik yang membangun adalah bagian penting dari proses demokrasi dan semestinya diterima dengan lapang dada oleh setiap pejabat publik.
“Saya tidak mendukung hal seperti ini dan tidak baik, tidak patut dicontoh. Saya selalu sampaikan berpuluh tahun sejak saya jadi Kabag Humas, pejabat publik itu tidak boleh tipis kuping. Kalau pejabat publik tidak mau dikritik, tidak usah jadi pejabat publik,” tegasnya.
Faisal menilai bahwa kritik yang diarahkan kepada pejabat ataupun instansi pemerintah, selama bersifat konstruktif dan disampaikan melalui jalur yang benar, justru menjadi masukan penting untuk perbaikan pelayanan publik.
“Masyarakat semua silakan jika ingin mengkritisi pemerintah, mengkritisi kebijakan publik. Yang penting konstruktif di jalur yang benar, saya kira kita oke-oke aja kok,” ujarnya.
Namun demikian, ia juga mengingatkan agar tidak buru-buru menuding pihak tertentu dalam kasus doxing, terutama jika belum ada bukti yang kuat.
Menurutnya, bisa saja ada pihak ketiga yang sengaja memanfaatkan situasi untuk memecah belah atau menciptakan konflik.
“Kita kan tidak bisa juga menuduh tanpa fakta dan data. Bisa saja ada orang yang ingin memecah belah situasi ingin membuat konflik ya jadi tetap asas praduga tak bersalah kan diutamakan,” jelasnya.
Untuk itu, Faisal menyarankan agar korban doxing segera melaporkan kejadian yang dialami kepada aparat penegak hukum agar bisa ditindaklanjuti secara resmi.
Ia menekankan bahwa proses hukum adalah jalur terbaik guna menghindari kesimpangsiuran informasi dan potensi fitnah yang lebih besar.
“Karena kalau tidak diadukan tidak bisa diteliti lebih lanjut, hanya katanya saja. Adukan ke jalur hukum, saya dukung penuh biar tidak menimbulkan fitnah,” tutup Faisal. (Adv)