Jakarta, infosatu.co – Kalangan aktivis pendidikan menyoroti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang ingin mengesahkan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional (Kurnas).
Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) mengkritik tentang tidak layaknya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional. Maka, harus dievaluasi secara total dan menyeluruh.
Direktur Eksekutif Bajik Dhitta Puti Sarasvati menilai Kurikulum Merdeka masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki.
“Seharusnya hal yang paling esensial, yakni kerangka kurikulum yang seharusnya ada malah belum ada,” ujarnya.
Menurutnya, setiap kurikulum yang ditetapkan sebagai kurikulum resmi nasional harus berdasarkan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas.
Keduanya juga harus tertuang dalam naskah akademik yang menjelaskan berbagai argumen lain mengenai dasar pemikiran terkait Kurikulum Merdeka.
“Sampai saat ini Kurikulum Merdeka belum ada naskah akademiknya. Tanpa adanya naskah akademik ini sulit untuk memahami apa yang menjadi dasar pemikiran dari Kurikulum Merdeka,” ujarnya.
Selain itu, untuk menetapkan kurikulum resmi juga harus memperhatikan beberapa komponen. Misalnya filosofi kurikulum (melingkupi tujuan kurikulum dan prinsip-prinsip dasar kurikulum), kerangka kurikulum (secara keseluruhan), dan bidang studi.
Setiap bidang studi harus ada tujuan (lintas kelas), kerangka bidang studi, tujuan pembelajaran umum (di dalam Kurikulum Merdeka disebut capaian pembelajaran).
Hal ini biasanya mencakup tujuan pembelajaran dalam 1 atau 2 tahun, dan tujuan pembelajaran instruksional yang menjadi acuan dalam perancangan kegiatan harian.
“Ketika awal Kurikulum Merdeka diluncurkan bagian-bagian paling esesial yakni, filosofi, prinsip-prinsip dasar kurikulum, kerangka kurikulum belum dibuat. Karena itu, Kurikulum Merdeka harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum diresmikan menjadi kurikulum nasional,” jelasnya.
Menurut Puti, Kurikulum Merdeka baru dalam tahap uji coba dan sebagai kurikulum operasional saja. Sebab dinyatakan belum lengkap.
Kurikulum ini baru memiliki dokumen capaian pembelajaran (CP), buku teks, dan beberapa panduan. Ini seperti panduan pengembangan KOSP (Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan), panduan Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan beberapa lainnya.
“Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi sebenarnya belum lengkap. Bukan berarti tidak bisa dipakai. Capaian pembelajarannya bisa saja digunakan oleh guru dalam merancang pembelajaran,” ujar Dhitta.
“Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pun bisa saja digunakan sebagai acuan dalam merancang projek. Tetapi secara dokumen kurikulum resmi, saya menganggap Kurikulum Merdeka belum selesai,” ujarnya.
Bajik, kata Puti, sudah membandingkan capaian pembelajaran (CP) Kurikulum Merdeka dengan beberapa tujuan pembelajaran umum dalam kurikulum lain.
Menurutnya, CP yang ada bisa digunakan tapi masih perlu disempurnakan lagi agar lebih mudah dipahami oleh guru. Kerangka bidang studi per mata pelajaran ada yang sudah baik ada yang sepertinya masih perlu direvisi.
Di dalam kurikulum Merdeka disediakan Capaian Pembelajaran (CP) yang pada dasarnya sama dengan apa yang disebut dengan tujuan pembelajaran umum. Ini berupa tujuan pembelajaran yang perlu dicapai siswa dalam waktu dua tahun (setiap fase).
“Agak aneh mengapa Kurikulum Merdeka tidak menyediakan tujuan pembelajaran instruksional (di kurikulum Merdeka disebut Tujuan Pembelajaran). Di dalam Kurikulum Merdeka, guru harus mendefinisikan sendiri tujuan pembelajarannya (TP),” ungkapnya.
“Sebenarnya sah-sah saja begitu, dengan syarat semua guru Indonesia sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk menerjemahkan CP. Faktanya, masih banyak guru yang kesulitan dalam hal ini,” sambung Puti.
Menurut kajian Bajik, masih ada pertanyaan tentang lasan Kurikulum Merdeka tidak menyediakan Tujuan Pembelajaran Instruksional. Di beberapa kurikulum sejumlah negara, tujuan instruksional ini didefinisikan dengan jelas.
Misalnya di dalam kurikulum Ontario, Australia, Singapura, dan Hongkong. Bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti guru tetapi sebagai acuan saja. Guru dapat menggunakannya untuk merancang asesmen dan kegiatan pembelajaran.
“Pada dasarnya guru professional punya hak untuk menginterpretasi kurikulum apapun, termasuk yang sudah menyediakan tujuan pembelajaran instruksional ini,” paparnya.
Melihat kondisi Kurikulum Merdeka masih belum lengkap, Kemdikbudisstek dan Dikti tidak memaksakan kurikulum operasional itu sebagai kurikulum nasional.
“Kalau hanya sekadar digunakan, Kurikulum Merdeka bisa saja digunakan. Namun, sebagai kurikulum resmi nasional, Kurikulum Merdeka perlu banyak penyempurnaan,” katanyaa.
“Saya mendesak Kurikulum Merdeka dievaluasi secara total, diperbaiki, dan bahkan apabila memungkinkan beberapa detil dalam kurikulum perlu dipetakan dan diredefinisikan kembali,” tegasnya.
Ditambahkan Puti, hal esensial lain yang juga perlu diingat bahwa pemerintah perlu serius dalam mempersiapkan sekolah dan semua guru agar siap memahami, menginterpretasi, dan mengkritisi kurikulum resmi. Dengan demikian, bisa menjadi dasar dalam merancang kurikulum operasionalnya sendiri sesuai konteks dan kebutuhan sekolah maupun kelasnya.
“Artinya guru perlu punya kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan kurikulum resmi apapun secara kritis. Bukankah hal ini yang juga dicita-citakan sejak adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),” tutup Direktur Eksekutif Bajik Puti.