Samarinda, infosatu.co – Isu meningkatnya peran militer dalam wilayah sipil dan ancaman terhadap jurnalis perempuan menjadi bahasan utama dalam diskusi publik yang digelar oleh Perempuan Mahardhika Samarinda, Sabtu, 26 April 2025.
Bertempat di Aula Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur (Kaltim), kegiatan yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 12.00 WITA ini menarik perhatian puluhan peserta dari kalangan mahasiswa dan jurnalis.
Dengan mengusung tema “Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan”, diskusi ini menghadirkan narasumber dari beberapa organisasi.
Tri Wahyuni dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kaltim, Titah dari Perempuan Mahardhika Samarinda, dan Noviyatul C dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda saling berbagi pandangan dan pengalaman seputar situasi yang dihadapi jurnalis perempuan, khususnya di wilayah Kaltim.
Noviyatul C dalam pemaparannya menyampaikan bahwa keterlibatan AJI dalam kegiatan ini merupakan bagian dari upaya membangun kesadaran kritis di kalangan jurnalis mengenai risiko yang kerap dihadapi perempuan di lapangan.
“Hari ini AJI diundang Perempuan Mahardhika untuk berdiskusi soal dominasi militer dan ancaman terhadap jurnalis perempuan. Kami juga berbagi pengalaman tentang kondisi jurnalis perempuan di Kaltim dan menarik isu-isu dari nasional,” ujar Noviyatul.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk laki-laki, dalam memahami dan mendukung perjuangan jurnalis perempuan.
“Kita harus menguatkan solidaritas, terlepas dari lembaga asal. Kalau sudah sesama jurnalis, kita harus saling mendukung agar bisa melangkah lebih kuat ke depan,” tambahnya.
Dari Perempuan Mahardhika, Titah yang mewakili Komite Basis Jurnalis Perempuan menyoroti urgensi menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan.
Menurutnya, semakin kuatnya penetrasi militer dalam sektor sipil turut meningkatkan kerentanan yang dihadapi perempuan, terutama mereka yang bekerja di dunia jurnalistik.
“Kami membangun ruang aman agar jurnalis perempuan bisa berserikat, mengadu, dan berbagi pengalaman terkait kekerasan yang mereka alami,” kata Titah.
Ia turut mengangkat beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan, termasuk teror yang dialami jurnalis Francisca Christy—yang menerima ancaman berupa kepala babi dan bangkai tikus—serta kasus Juwita, yang semula dianggap sebagai kecelakaan tunggal, namun kemudian diketahui sebagai kasus pembunuhan oleh oknum TNI.
“Ini adalah bentuk nyata femisida, di mana seseorang dibunuh karena identitas gendernya,” tegas Titah.
Diskusi ini juga diharapkan menjadi titik awal bagi terbentuknya solidaritas yang lebih kokoh di antara jurnalis perempuan di Kaltim.
Selain mendorong keterlibatan dalam organisasi seperti Perempuan Mahardhika atau AJI, peserta juga diajak membentuk serikat-serikat baru demi memperluas perlindungan dan jaringan dukungan.
Berdasarkan data AJI Indonesia, sepanjang 2024 tercatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tujuh di antaranya menimpa jurnalis perempuan.
Memasuki awal 2025, sudah ada 23 kasus tercatat, lima di antaranya dialami oleh perempuan. Pelaku kekerasan umumnya berasal dari aparat keamanan seperti polisi dan TNI, serta individu atau kelompok masyarakat yang tak dikenal.
Data tersebut menunjukkan bahwa jurnalis perempuan menghadapi risiko tinggi, baik dari sisi profesi maupun karena konstruksi gender yang belum sepenuhnya berubah.
Hal ini memperkuat urgensi membangun ruang aman, mempererat solidaritas, dan memperjuangkan hak-hak jurnalis perempuan agar mereka bisa bekerja secara profesional dan terlindungi.