Samarinda, infosatu.co – Sektor ekonomi tercatat sebagai bidang dengan kesenjangan gender paling tinggi di Kalimantan Timur (Kaltim).
Hal itu disampaikan Fasilitator Pengarusutamaan Gender (PUG) Kaltim, Dwi Hartini, dalam wawancara seusai kegiatan Penguatan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) yang berlangsung di Aula Inspektorat Provinsi Kalimantan Timur, Rabu 3 Desember 2025.
Dwi menjelaskan bahwa berdasarkan Indeks Pembangunan Gender (IPG), perempuan Kaltim baru berpartisipasi sekitar 24 persen dalam aktivitas ekonomi. Sisanya masih didominasi laki-laki.
“Untuk IPG, sektor ekonomi kita baru mencapai 24 sekian persen. Jadi tingkat keterlibatan perempuan dalam aktivitas ekonomi masih sangat rendah,” ujarnya.
Selain IPG, Dwi juga menyoroti capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang mengalami penurunan signifikan, terutama pada bidang politik.
Ia menyebutkan bahwa keterwakilan perempuan turun dari sekitar 22 persen menjadi 12 persen, atau hanya delapan orang dari keseluruhan kursi legislatif.
Menurutnya, penurunan ini dipengaruhi banyak faktor.
“Perempuan masih sering menilai sesama perempuan kurang layak di politik. Selain itu, hanya perempuan-perempuan tertentu yang mau terlibat. Sistem pemilu juga tidak memberi privilege bagi perempuan untuk menempati nomor urut satu atau dua, karena itu hak ketua partai,” jelasnya.
Penurunan keterwakilan perempuan tersebut berdampak langsung pada capaian indeks gender Kaltim.
Dwi menyebut bahwa peringkat IPG Kaltim merosot dari posisi 20 menjadi posisi 30. Kondisi serupa juga terjadi pada IPG yang kini berada di urutan 30, mendekati posisi terbawah nasional.
“Indeks Ketimpangan Gender (IKG) kita juga turun dari peringkat 7 menjadi 17. Ini menunjukkan masih banyak ketertinggalan di potret perempuan Kaltim,” tambahnya.
Dwi kemudian mengaitkan kondisi tersebut dengan tantangan ekonomi Kaltim saat ini, khususnya transisi dari sektor energi ekstraktif yang berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja dan memunculkan berbagai persoalan turunan lainnya.
Dalam situasi seperti ini, menurutnya, penggunaan anggaran harus benar-benar efektif, optimal, terukur, dan memenuhi prinsip SMART agar kelompok rentan tidak semakin tertinggal.
“Strategi pembangunan melalui pengarusutamaan gender sangat penting. Setiap tahun kami diminta menggambarkan sejauh mana pembangunan Kaltim berjalan adil. Salah satunya terlihat dari porsi anggaran,” terangnya.
Namun hingga kini, Anggaran Responsif Gender (ARG) di Kaltim masih jauh dari target.
Dwi menyebutkan bahwa ARG idealnya mencapai 55 persen, tetapi saat ini baru berada di angka 22 persen.
Ia mengakui proses penyusunan ARG bukan hal mudah, terutama karena pergantian pegawai melalui pensiun dan rotasi yang membuat pelaksana PUG harus memulai dari awal.
“Menyelesaikan PUG itu seperti melukis di atas air. Selesai, hilang, mulai lagi. Tapi kita harus tetap optimis karena dukungan pemerintah daerah, termasuk komitmen Gubernur melalui RPJMD, sangat kuat terhadap pembangunan inklusif. Prinsipnya, tidak boleh ada satu orang pun yang tertinggal,” ujarnya.
Di akhir wawancara, Dwi menyampaikan pesan khusus bagi generasi muda, terutama perempuan, agar berperan aktif dalam pembangunan yang setara dan berkelanjutan.
Ia menekankan pentingnya peningkatan kapasitas diri, terutama dalam literasi digital, tanpa meninggalkan kearifan lokal dan nilai religius.
“Jangan tinggalkan kapasitas. Update terus isu-isu aktual. Tapi jangan juga meninggalkan kearifan lokal dan nilai religi, karena itu pengingat agar pekerjaan kita membawa manfaat. Kita lihat kasus di Sibolga dan Aceh, itu akibat pembangunan yang tidak bijak dan rakyat yang jadi korban,” tuturnya.
Ia juga mengajak generasi muda untuk lebih peka terhadap isu lingkungan.
“Menjaga lingkungan berkelanjutan itu penting, agar bukan hanya generasi sekarang yang menikmati, tapi juga yang akan datang. Jangan sampai hanya jadi pengikut atau ‘kompor’ di media sosial,” pungkasnya.
Secara keseluruhan, potret kesenjangan gender di Kalimantan Timur menunjukkan perlunya langkah terarah dan kolaboratif untuk memperkuat pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Tantangan pada sektor ekonomi, politik, maupun akses perempuan terhadap sumber daya menegaskan bahwa perencanaan dan penganggaran responsif gender harus terus dioptimalkan di seluruh perangkat daerah.
Dengan peningkatan kapasitas, penggunaan anggaran yang tepat sasaran, serta partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, Kaltim diharapkan mampu memperbaiki capaian indeks gender dan memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara setara oleh perempuan maupun laki-laki.
