Samarinda, infosatu.co – Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur (Kaltim) mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Tak terkecuali Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim.
Perhatian serius ini karena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat, jumlah tindak kekerasan pada semester II tahun 2021 sebanyak 551 kasus.
Angka ini melonjak menjadi 945 atau 70 persen dari kasus pada 2022. Setahun kemudian, jumlah kasus itu kembali naik menjadi 1.108 kasus pada 2023.
Hingga Oktober 2024, terdapat 810 kasus dengan 891 korban yang 67 persen di antaranya adalah anak-anak. Dari ratusan kasus tersebut, mayoritas terjadi di lingkungan rumah tangga, yakni sebanyak 58 persen.
Kepala DKP3A Kaltim Noryani Sorayalita mengungkapkan perlunya langkah-langkah strategis untuk memastikan penanganan yang tepat sasaran dan penurunan angka kekerasan.
Sebagai langkah awal, Sorayalita menekankan pentingnya komitmen bersama yang telah ditandatangani dengan Forkopimda Kaltim dan seluruh kabupaten/kota.
“Komitmen ini diharapkan menjadi arah tujuan kita untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kita harus lebih kolaboratif, terutama dengan kabupaten/kota, karena selama ini upaya pencegahan mungkin belum optimal,” ujarnya saat ditemui di Pendopo Odah Etam, Selasa (3/12/2024).
Sorayalita menjelaskan, salah satu fokus DKP3A adalah memetakan kembali penyebab kekerasan secara lebih mendalam. Selama ini, pendataan hanya dilakukan setelah kekerasan terjadi.
“Kami menangani kasus setelah dilaporkan, namun belum fokus pada penyebab utamanya. Dengan tindakan preventif berupa pemetaan yang lebih akurat, kebijakan yang diambil akan lebih tepat sasaran,” tambahnya.
Ia juga menyoroti beberapa faktor penyebab kekerasan, seperti masalah ekonomi, kondisi rumah tidak layak huni, hingga konflik keluarga. DKP3A akan memprioritaskan kebijakan preventif berbasis data dan meningkatkan kesadaran masyarakat.
“Masyarakat sekarang lebih sadar untuk melaporkan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa saluran pelaporan seperti Sapa 129 efektif dalam membantu kami mendeteksi kasus di lapangan,” jelasnya.
Sorayalita juga mengapresiasi media massa yang aktif dalam menyuarakan kampanye pencegahan kekerasan.
“Media sangat membantu kami dalam mengedukasi masyarakat. Bentuk-bentuk kekerasan seperti pemaksaan pernikahan dini, yang dulu dianggap wajar, kini dipahami sebagai kekerasan seksual. Kesadaran inilah yang harus terus disosialisasikan,” tegasnya.
Hingga November 2024, DKP3A telah menangani 88 kasus melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Kolaborasi lintas sektor dan pendekatan berbasis pentahelix, yakni konsep kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media terus didorong untuk mewujudkan lingkungan yang aman dan ramah bagi perempuan serta anak di Kaltim.
“Dengan sinergi semua pihak, kami optimis angka kekerasan dapat ditekan,” tutup Sorayalita.