Samarinda, infosatu.co – Penyegelan kantor operasional PT Teknologi Perdana Indonesia (Maxim) di Kota Samarinda oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kalimantan Timur (Kaltim) pada Kamis, 31 Juli 2025 menyita perhatian publik.
Langkah tersebut dilakukan setelah Maxim dinilai melanggar Surat Keputusan (SK) Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.673/2023 terkait tarif batas bawah angkutan sewa khusus (ASK).
Tarif resmi yang ditetapkan Pemprov Kaltim dalam SK tersebut adalah Rp18.800 per perjalanan.
Namun dalam praktiknya, Maxim disebut memberlakukan tarif Rp13.600, sehingga dianggap melanggar regulasi yang berlaku.
Kepala Bidang Trantibum Satpol PP Kaltim, Edwin Noviansyah Rachim, mengatakan bahwa tindakan penyegelan dilakukan karena pihak Maxim tidak menanggapi tiga surat peringatan sebelumnya dan tidak hadir secara serius dalam upaya klarifikasi.
“Kami sudah memberi waktu, bahkan menelepon langsung ke kepala cabangnya. Karena tak ada respons yang meyakinkan, kami segel kantornya,” ujar Edwin.
Menanggapi penyegelan itu, pihak Maxim Indonesia akhirnya menyampaikan klarifikasi resmi melalui pernyataan tertulis. Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, menjelaskan bahwa pihaknya menghormati kewenangan pemerintah daerah dalam pengawasan transportasi daring.
Namun, ia menilai tindakan penyegelan seharusnya dilakukan dengan dasar hukum yang jelas dan komunikasi terbuka.
“Hingga saat ini, kami belum menerima penjelasan rinci mengenai dasar spesifik penyegelan. Kami berharap penegakan aturan dilakukan secara adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas,” ujar Rafi, Jumat, 1 Agustus 2025.
Ia menegaskan bahwa Maxim telah mematuhi ketentuan tarif angkutan sewa khusus sesuai SK Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.673/2023, bahkan telah diterapkan selama tiga minggu terakhir.
Namun, penerapan tarif baru ini justru berdampak serius terhadap jumlah order dan pendapatan mitra pengemudi.
“Penurunan order harian mencapai 35 persen, dan pendapatan mitra turun hingga 45 persen. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif yang berlaku belum menjawab realitas di lapangan,” jelasnya.
Ia menjelaskan, kantor operasional Maxim di Samarinda memiliki peran strategis sebagai pusat komunikasi, pelatihan, dan layanan administratif mitra.
Oleh karena itu, menurutnya, penutupan kantor secara administratif harusnya menjadi langkah terakhir setelah proses dialog yang cukup.
“Penyegelan ini berpotensi mengganggu ekosistem layanan transportasi daring, padahal keberadaan kami menciptakan lapangan kerja bagi ribuan masyarakat,” tegasnya.
Maxim Indonesia tetap menyatakan sikap terbuka dan kooperatif dengan Pemprov Kaltim.
Mereka bahkan mengaku telah menyampaikan evaluasi data resmi kepada pemerintah, termasuk dampak tarif terhadap mitra.
“Kami berharap ada ruang dialog konstruktif, agar regulasi yang diterapkan tidak hanya legal formal, tapi juga relevan dengan kondisi sosial-ekonomi di daerah,” tutupnya.