Samarinda, infosatu.co – Modernisasi Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) terus menggeliat dengan bangunan ruang publik modern seperti Teras Samarinda dan Citra Niaga.
Di sisi lain ada sebuah bangunan berarsitektur khas lokal berdiri tenang di Jalan Bhayangkara. Namanya Museum Samarinda.
Meski menyandang predikat sebagai destinasi wisata sejarah terbaik pada 2024, ironi terjadi: museum ini nyaris hanya dikunjungi pelajar.
Data pengunjung tahunan memang menunjukkan grafik meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Tercatat pada tahun 2020 (363), tahun 2021 (1.241), tahun 2022 (13.843), tahun 2023 (14.194), tahun 2024 (6.465), tahun 2025 (5.312).
Namun angka tersebut menyimpan catatan penting: mayoritas pengunjung adalah siswa sekolah, bukan wisatawan umum atau masyarakat luas.
“Pengunjung masih didominasi pelajar dari jenjang TK hingga SMA,” ujar Barlin Hady Kesuma, Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Samarinda.
Ia menambahkan, masyarakat umum belum melihat museum sebagai tempat beraktivitas atau tujuan rekreasi keluarga.
“Orang tua lebih memilih ke mal atau kegiatan olahraga,” ujarnya.
Padahal Museum Samarinda memiliki koleksi dan desain yang cukup representatif.
Konstruksi bangunannya terinspirasi dari Rumah Panjang khas Kalimantan, dengan atap berbentuk perisai Dayak dan ornamen Sarung Samarinda sebagai identitas budaya lokal.
Di dalamnya, pengunjung bisa menemukan 315 koleksi foto dokumentasi sejarah, berbagai replika artefak, alat pembuat kain sarung, hingga senjata tradisional dan kerajinan tangan suku Dayak.
Salah satu koleksi unggulan adalah busana Sarung Samarinda motif Belang Hatta, bening Dayak sebagai alat tradisional menggendong bayi, serta replika prasasti Yupa dari Muara Kaman yang menjadi penanda awal sejarah di Kalimantan Timur.
Sentuhan teknologi juga mulai hadir. Beberapa layar sentuh disediakan untuk akses informasi, menyesuaikan kebutuhan generasi digital.
Museum bahkan mengusung konsep 3B: Belajar, Bermain, dan Berbudaya, dengan harapan dapat menarik lebih banyak segmen usia.
Namun, daya tarik ini nyatanya belum cukup untuk membawa masyarakat umum masuk dan menghargai museum.
Sejarawan publik, Muhammad Sarip, mengungkapkan bahwa minimnya pengunjung nonpelajar salah satunya disebabkan oleh sistem mobilisasi kunjungan sekolah melalui Disdikbud yang bersifat “top-down”.
“Kalau tidak ada sistem imbauan ke sekolah, museum akan sangat sepi. Saya pernah datang jam 2 siang di hari kerja, tidak ada pengunjung sama sekali. Buku tamunya kosong,” ujarnya.
Ia juga menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat akan keberadaan museum itu sendiri.
Menurut Sarip, sejarah pendirian Museum Samarinda juga menjadi bagian dari cerita yang jarang diketahui publik.
Bangunan ini dulunya adalah lokasi SMA Negeri 1 dan SMP Negeri 1 Samarinda, yang dibongkar pada 2014 untuk mengatasi kemacetan kota.
Karena desakan alumni yang kecewa atas pembongkaran sekolah bersejarah itu, Pemerintah Kota akhirnya merencanakan pembangunan museum sebagai bentuk kompromi.
“Awalnya bukan Museum Samarinda, tapi Museum SMP dan SMA 1 Samarinda, karena lahannya sempit dan konsep awalnya hanya untuk menampung kenangan sekolah, bangunannya pun kecil. Baru kemudian konsepnya diperluas menjadi Museum Samarinda,” jelas Sarip.
Namun, perluasan konsep tidak diiringi dengan kesiapan koleksi. Banyak benda yang dipamerkan justru tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah Samarinda, melainkan koleksi pribadi atau benda khas dari daerah tetangga seperti Kukar.
Bahkan replika prasasti Yupa yang menjadi andalan, awalnya dipinjam dari kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Minimnya dukungan regulasi juga menjadi tantangan tersendiri. Barlin menyebut bahwa perlu adanya Peraturan Wali Kota (Perwali) yang bisa mendorong masyarakat untuk mendaftarkan atau menghibahkan benda-benda bersejarah yang mereka miliki.
“Selama ini masyarakat khawatir jika benda berharga mereka tidak dirawat. Padahal kami punya tim kurator dan edukator untuk menjaga koleksi itu,” tegas Barlin.
Perhatian pemerintah terhadap museum dan sektor budaya secara umum pun dinilai masih kurang. Jika dibandingkan dengan daerah seperti Yogyakarta atau Bali, Samarinda masih tertinggal dalam hal penataan aset budaya.
Menurut Barlin, kota yang ingin menyandang predikat “pusat peradaban” harus konsisten menjaga budaya lokal, termasuk melalui dukungan terhadap museum.
“Identitas kota itu bukan hanya pada bangunan fisik dan infrastruktur, tapi juga bagaimana kita merawat memori kolektif dan warisan budaya. Kalau semua hanya fokus ke jalan dan drainase, lalu siapa yang menjaga nilai sejarah kita?” ujarnya dengan nada prihatin.
Dengan koleksi yang masih berkisar 300-an dan ruang pameran yang terbatas, masa depan Museum Samarinda bergantung pada dua hal: regulasi yang mendukung, dan kemauan kolektif masyarakat serta pemerintah untuk menjadikan museum sebagai ruang publik yang hidup.
Museum Samarinda mungkin belum jadi magnet wisata seperti mal atau kafe hits di kota, tapi ia menyimpan sejarah penting tentang siapa kita sebagai warga Kota Tepian.
Pertanyaannya tinggal: akankah kita peduli sebelum semuanya hanya jadi artefak sunyi dalam kotak kaca?