
Samarinda, infosatu.co – Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) memicu keresahan warga.
Kasus ini mencuat setelah viral di media sosial, ketika seorang warga mengeluhkan tagihan PBB melonjak dari Rp300 ribu menjadi Rp9,5 juta dalam satu tahun.
Sorotan publik semakin kuat setelah Anggota DPRD Kalimantan Timur dari Komisi II, Nurhadi, mengungkapkan temuan serupa di wilayah Balikpapan Timur.
“Awalnya kabar ini mencuat di media sosial, lalu kami cek di lapangan. Ada kasus dari Rp500 ribu menjadi Rp12,9 juta. Itu sekitar 2.500 persen kenaikannya, ini sangat tidak masuk akal” tegas Nurhadi, Kamis, 21 Agustus 2025.
Kenaikan PBB ternyata tidak hanya terjadi di Balikpapan, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.
Di Pati, Jawa Tengah, tarif naik hingga 250 persen dan memicu gelombang protes besar serta desakan pemakzulan bupati.
Di Jombang dan Cirebon, lonjakan bahkan mencapai 1.000 persen. Sementara di Bone, Sulawesi Selatan, rata-rata kenaikan 65 persen juga disertai aksi massa.
Di Kalimantan Timur, selain Balikpapan, Kota Samarinda juga menaikkan PBB sebesar 25 persen. Bedanya, Pemkot Samarinda masih memberi keringanan berupa diskon.
Nurhadi mengingatkan agar Pemkot Balikpapan belajar dari kasus Pati.
“Kita tidak mau ada kejadian seperti di Pati. Jangan sampai Balikpapan mengalami hal yang sama. Pemerintah kota harus responsif, dan DPRD Balikpapan harus cepat tanggap,” ujarnya.
Nurhadi menambahkan, hingga saat ini Komisi II DPRD Kaltim belum menerima keterangan resmi dari Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Balikpapan terkait dasar perhitungan kenaikan.
“Kami masih menunggu penjelasan. Jangan sampai rakyat dikorbankan karena kesalahan perhitungan atau kebijakan yang tidak sensitif,” tambahnya.
Kritik juga datang dari Pengamat Ekonomi sekaligus Akademisi Universitas Mulawarman, Purwadi. Menurutnya, kenaikan PBB secara masif menunjukkan pemerintah mengambil jalan pintas dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Ini cara paling gampang dan tradisional. Pemerintah perlu strategi yang lebih kreatif untuk meningkatkan PAD, bukan langsung membebani masyarakat lewat pajak,” jelasnya.
Ia menyarankan agar pemerintah daerah lebih fokus menggali potensi lain, seperti sektor pariwisata, investasi, maupun optimalisasi retribusi yang selama ini bocor.
PBB merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang secara nyata memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas suatu tanah dan/atau bangunan. Aturan hukumnya tercantum dalam UU No. 12 Tahun 1994, yang merupakan perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan dasar hukum tersebut, pemerintah daerah memang memiliki kewenangan menetapkan tarif PBB. Namun, kebijakan itu tetap harus memperhatikan asas keadilan, kondisi ekonomi masyarakat, serta tidak menimbulkan keresahan sosial.