
Samarinda, infosatu.co – Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Baharuddin Demmu meminta pimpinan dewan segera merespons permohonan mediasi dari warga Kecamatan Marangkayu.
Pasalnya, hingga kini permohonan mediasi warga Kecamatan Marangkayu belum mendapatkan kejelasan terkait pembayaran ganti rugi lahan proyek bendungan.
Demmu menilai, persoalan ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Warga disebutnya telah cukup lama merasa dirugikan karena dana konsinyasi yang dibayarkan melalui Pengadilan Negeri Tenggarong tidak bisa langsung mereka terima.
Hal ini dipicu oleh klaim dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII yang menyebut lahan tersebut berada dalam area Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan.
“Warga kehilangan akses atas hak mereka karena klaim sepihak dari PTPN XIII. Padahal, mereka sudah lama mengelola lahan itu secara turun-temurun,” kata Demmu, Senin 2 Juni 2025.
Ia mengungkapkan, proyek bendungan di Kilometer 7 Marangkayu sebenarnya sudah dirintis sejak 2006.
Kala itu, dirinya masih menjabat kepala desa dan ikut mengawal usulan pembangunan bendungan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi petani.
Proyek tersebut bahkan sempat mendapat dukungan dari anggota DPR RI.
“Tahun 2007, sebagian warga sudah menerima ganti rugi. Tapi kemudian muncul masalah baru di 2017, ketika perusahaan tiba-tiba mengklaim lahan itu termasuk dalam HGU mereka,” ujarnya.
Klaim tersebut, lanjut Demmu, mengejutkan warga yang selama ini tidak pernah mendapat informasi atau sosialisasi bahwa lahan yang mereka kelola berada dalam konsesi perusahaan.
Akibatnya, pembayaran ganti rugi untuk tahap selanjutnya terhenti dan pemerintah memilih menyalurkan dana melalui mekanisme konsinyasi.
Sayangnya, proses hukum yang berjalan tak memihak kepada masyarakat.
Pengadilan disebut hanya mempertimbangkan dokumen perusahaan tanpa melihat fakta penguasaan fisik lahan oleh warga.
“Kalau hanya berdasar dokumen sepihak, ini tidak adil. Padahal warga bisa membuktikan kalau mereka yang mengolah lahan itu selama puluhan tahun,” ujar Demmu dengan nada kecewa.
Menurutnya, setidaknya ada sekitar 100 hektare lahan yang statusnya kini menjadi sengketa.
Ia menegaskan, konflik ini tidak hanya menyangkut dokumen pertanahan, tapi juga menyangkut keadilan dan hak hidup masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek.
“Harus ada peninjauan ulang terhadap status lahan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah penguasaan lahan oleh warga,” tegas politisi dari Fraksi PAN tersebut.
Untuk itu, ia mendesak agar DPRD segera menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan menghadirkan semua pihak, termasuk masyarakat, PTPN XIII, dan Balai Wilayah Sungai Kalimantan IV.
“RDP ini sangat penting untuk membuka ruang dialog dan mencari titik temu. Warga menanti kepastian, dan sudah selayaknya kita beri perhatian penuh terhadap aspirasi mereka,” pungkasnya.