Samarinda, infosatu.co – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan kembali larangan praktik jual beli Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) di lingkungan sekolah.
Penegasan ini disampaikan langsung oleh Kepala Disdikbud Samarinda, Asli Nuryadin, usai mencuat dugaan penjualan LKPD di salah satu sekolah di kawasan Sungai Pinang, Samarinda Utara.
Asli menegaskan, sekolah tidak memiliki dasar apa pun untuk memungut biaya dari siswa atau orang tua dengan alasan kekurangan buku.
“Tidak ada alasan yang bisa membenarkan jual beli LKPD. Itu tidak boleh dilakukan di lingkungan sekolah,” tegas Asli, Senin, 6 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, distribusi LKPD sebenarnya sudah mencukupi kebutuhan belajar siswa, meskipun sempat terjadi kekurangan karena perhitungan awal hanya didasarkan pada jumlah peserta didik.
Menurutnya, guru juga memerlukan buku pegangan, namun hal itu tidak boleh dijadikan dasar untuk menjual buku ke siswa.
“Kalau bukunya kurang, solusinya bukan jual beli. Sekolah harus bisa mengatur distribusi secara internal, misalnya dengan penggunaan bergantian atau pengaturan jadwal berbeda,” ujarnya.
Asli juga mengingatkan bahwa praktik jual beli LKPD, baik dilakukan oleh guru, komite, maupun paguyuban orang tua siswa, tetap melanggar aturan.
“Sekolah tidak boleh berlindung di balik paguyuban. Regulasi sudah jelas: tidak boleh ada transaksi yang membebani orang tua siswa,” tambahnya.
Disdikbud Samarinda, kata Asli, akan melakukan penelusuran jika ditemukan indikasi penjualan LKPD di sekolah. Pihak yang terbukti melanggar akan diberikan sanksi sesuai ketentuan.
Ia juga menyebut, dugaan praktik jual beli bisa muncul akibat kesalahan teknis dalam pendataan jumlah buku.
Dengan jumlah siswa di Samarinda yang mencapai lebih dari 110 ribu orang, distribusi LKPD kadang menghadapi kendala.
Namun, hal tersebut seharusnya diselesaikan dengan koordinasi internal, bukan dengan menarik biaya tambahan.
“Kalau memang ada kekurangan, sekolah harus mencari solusi dengan bijak. Tidak boleh langsung memutuskan untuk membeli atau menjual. Itu bisa menciptakan keresahan di masyarakat,” jelasnya.
Dengan penegasan ini, Disdikbud berharap sekolah dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan buku ajar.
“Kami ingin memastikan tidak ada praktik yang menyalahi aturan dan menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat,” pungkas Asli.
