Infosatu.co – Dalam percaturan hukum Indonesia, dua istilah ini kembali menyita perhatian publik: abolisi dan amnesti.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Lembong atau yang biasa disapa Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto mengundang perdebatan.
Tapi juga menjadi momen penting untuk memahami bagaimana dua instrumen pengampunan ini bekerja dalam sistem hukum kita.
Abolisi adalah penghapusan proses hukum pidana terhadap seseorang yang belum dijatuhi putusan pengadilan.
Dalam konteks ini, kasusnya tidak berlanjut ke tahap pengadilan, dan statusnya dikembalikan seperti sebelum ada tuntutan hukum.
Ini berlaku dalam kasus Tom Lembong. Tom Lembong menerima vonis penjara selama 4 tahun 6 bulan.
Namun penerapan abolisi dalam kasusnya bukan berarti dia belum pernah divonis, melainkan bahwa pengampunan tersebut menghapus putusan dan seluruh proses hukum, seolah ia dibebaskan sepenuhnya.
DPR kemudian menyetujui abolisi berdasarkan surat presiden tertanggal 30 dan 31 Juli 2025, yang menjadikan Tom Lembong bebas secara hukum dan tanpa catatan pidana lagi.
Sebaliknya, amnesti adalah pengampunan terhadap hukuman pidana atau status pidana, dan biasa diberikan kepada individu atau kelompok yang perkaranya sudah atau sedang berjalan di pengadilan.
Ini yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, yang kala itu telah menjadi tersangka atas dugaan penyebaran informasi menyesatkan.
Meskipun belum divonis, proses hukum terhadapnya sudah dalam tahap lanjut dan menyedot perhatian politik.
Amnesti ini menghapus status pidana, sehingga walau proses hukum sempat berjalan, Hasto tidak lagi memiliki catatan pidana.
“Abolisi menghapus kasus sebelum sempat diadili. Amnesti mengampuni seseorang yang sudah terlibat proses hukum, bahkan jika belum dijatuhi vonis,” jelas Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Pidana UI.
Ia menekankan bahwa keduanya memiliki landasan konstitusional di Pasal 14 UUD 1945, dan Presiden harus memperoleh persetujuan DPR sebelum mengeluarkan keputusan tersebut.
Dalam praktiknya, abolisi kerap diberikan kepada orang yang kasusnya dianggap lemah secara hukum atau politis, sementara amnesti diberikan atas pertimbangan politik yang lebih besar, seperti rekonsiliasi nasional atau kepentingan stabilitas.
Langkah Presiden Prabowo memunculkan perdebatan, namun juga menandai penggunaan strategi hukum yang bertujuan mencairkan ketegangan politik, terutama menjelang HUT ke-80 RI.
“Ini bukan berarti hukum bisa dinegosiasi. Namun, dalam beberapa situasi, negara butuh pendekatan yang lebih komprehensif, termasuk jalan pengampunan,” ujar Menteri Hukum Supratman Agtas dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 31 Juli 2025.
Dalam sejarah Indonesia, instrumen ini pernah digunakan oleh Presiden Soekarno, Habibie, hingga SBY dalam konteks politik nasional maupun internasional.
Dengan penjelasan ini, masyarakat kini dapat lebih memahami bahwa abolisi dan amnesti bukan sekadar ‘pemutihan kasus’, melainkan alat hukum yang legal dan berdampak besar terhadap individu dan iklim politik nasional.