Samarinda, infosatu.co – Perkembangan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai terus berjalan, namun capaian indeks gender menunjukkan bahwa upaya peningkatan kesetaraan masih membutuhkan kerja keras.
Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim, Fachmi Rozano seusai kegiatan Penguatan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Aula Inspektorat Provinsi Kaltim, Rabu 3 Desember 2025.
Menurut Fachmi, berdasarkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), kontribusi perempuan di Kaltim sesungguhnya telah terlihat, tetapi belum optimal.
“Perempuan sudah berpartisipasi, kabupaten-kota juga berkontribusi, tetapi capaian indeksnya masih rendah,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dari data Badan Pusat Statistik (BPS), IPG Kaltim berada di peringkat 35 dari 38 provinsi. Sementara Indeks Ketimpangan Gender (IKG) berada di posisi 17, karena capaian Kaltim justru berada di atas rata-rata nasional, yang menunjukkan kesenjangan cukup besar.
Kondisi melambat ini dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk kondisi geografis, heterogenitas penduduk, serta masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap aksi kesetaraan gender.
“Secara program, kami sudah maksimal. Namun data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hasil yang masih rendah. Ini menjadi PR bagi kami. Bahkan ketika kami bertemu Kepala BPS, hal itu juga menjadi perhatian,” ungkapnya.
Ia menuturkan bahwa beberapa sektor masih memiliki peluang peningkatan, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Partisipasi perempuan dalam sektor formal masih sangat rendah.
Sementara keterwakilan perempuan di parlemen juga menurun, dari 11 orang pada tahun lalu menjadi hanya 8 orang saat ini.
Padahal, amanat undang-undang menetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan.
Terkait pengaruhnya terhadap perencanaan pembangunan, ia menegaskan bahwa perencanaan di Kaltim harus responsif gender.
Kebutuhan perempuan, termasuk kebutuhan spesifik, harus diperhatikan secara serius.
Fachmi turut mencontohkan kondisi banjir di Aceh, di mana bantuan yang dikirim sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut.
“Ini contoh kecil. Kalau perencana tidak memahami kebutuhan perempuan, pembangunan jadi tidak setara,” jelasnya.
Ia juga menyinggung ketimpangan upah yang masih terjadi.
“Laki-laki bisa menerima Rp12 juta, tapi perempuan hanya Rp5–8 juta. Ini harus disetarakan dalam perencanaan,” terangnya.
Menurutnya, indikator seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sudah mulai mengintegrasikan isu gender dalam penyusunan program pembangunan provinsi, namun implementasinya harus diperkuat.
DP3A berharap ke depan IPM dan seluruh kebijakan pembangunan semakin responsif gender sehingga kebutuhan perempuan dan laki-laki terpenuhi secara seimbang.
“Harus 50–50. Keduanya harus dipenuhi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan, dari tingkat provinsi hingga desa.
Namun berdasarkan pengalaman turun langsung ke beberapa desa, ia mengakui bahwa perempuan masih belum sepenuhnya dilibatkan oleh aparat desa.
“Suara perempuan belum terlalu diperhatikan, padahal mereka sangat berpengaruh,” terangnya.
Lebih lanjut, Fachmi juga menyampaikan harapannya. Meskipun ia laki-laki, menurutnya suara perempuan harus benar-benar didengar dalam penyusunan kebijakan.
Ia menekankan agar isu gender terintegrasi dalam RPJMD mendatang dan perempuan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil.
“Perempuan harus terlibat dan harus menikmati pembangunan ini. Jangan sampai mereka tidak menikmatinya,” tegasnya.
Ia juga mengaitkan hal ini dengan misi Gubernur tentang penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul menuju Indonesia 2045.
“SDM unggul itu juga termasuk perempuan. Maka mereka harus diperhatikan,” tegasnya.
Tak lupa ia menyampaikan bahwa pemerintah telah bekerja sangat baik dalam mendukung pembangunan.
Namun ia meminta agar pelibatan masyarakat tetap memperhatikan kesetaraan gender, sehingga perempuan dapat berperan penuh.
“Pelibatan masyarakat harus memperhatikan isu gender. Perempuan harus dilibatkan,” pungkasnya.
Secara keseluruhan, berbagai indikator menunjukkan bahwa percepatan kesetaraan gender di Kalimantan Timur masih membutuhkan langkah yang lebih terarah dan menyeluruh.
Dengan penguatan kebijakan, perencanaan responsif gender, serta partisipasi aktif seluruh pihak, pembangunan daerah diharapkan dapat berjalan lebih adil dan mampu memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat.
