infosatu.co
KALTIM

Anggota DPD Aji Mirni Mawarni Dorong Kesadaran Publik Agar Kaltim Dapat Kesamaan Hak

Teks: Diskusi Publik Peringatan 200 Tahun Perjanjian Kutai-Belanda 1825.

Samarinda, infosatu.co – Tepat dua abad setelah penandatanganan Perjanjian Kutai-Belanda pada 8 Agustus 1825, publik Kalimantan Timur (Kaltim) memperingatinya dengan diskusi kritis.

Teks: Dokumen Asli Perjanjian Sultan Kutai-Hindia Belanda 8 Agustus 1825. (Dok: Muhammad Sarip)

Diskusi tersebut berlangsung di Kampus FKIP Universitas Mulawarman (Unmul), Jumat, 8 Agustus 2025 menghadirkan tokoh politik, sejarawan dan akademisi.

Teks: Dari kiri: Rusdianto, Muhammad Sarip, Aji Mirni Mawarni, Aji Muhammad Mirza Wardana, Muhammad Azmi

Forum ini diinisiasi oleh SUMBU TENGAH bersama Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul dan Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB).

Anggota DPD dan MPR RI dari Dapil Kaltim, Aji Mirni Mawarni, menjadi keynote speaker didampingi Muhammad Sarip, penulis buku Histori Kutai; Aji Muhammad Mirza Wardana.

Juga Petinggi Pore Sempekat Keroan Kutai; serta Muhammad Azmi, dosen Pendidikan Sejarah Unmul. Diskusi dimoderatori oleh Rusdianto, pendiri SUMBU TENGAH.

Mawar, yang merupakan keturunan Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman, menekankan pentingnya sejarah berbasis sumber valid.

Ia bersama adiknya memfasilitasi penulisan ulang sejarah Kutai dengan membuka akses arsip di ANRI dan sumber lisan dari para sesepuh kerabat Sultan.

“Sebagai orang Kutai, saya merasa perlu meluruskan sejarah yang masih simpang siur di tengah masyarakat,” ujarnya sambil membagikan buku Histori Kutai kepada peserta.

Ia juga menyoroti ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.

“Dulu, Kesultanan Kutai menjalin kontrak dengan Belanda. Tapi di era NKRI, hasil SDA Kaltim justru lebih banyak dinikmati di Jakarta, sementara rakyat Kaltim belum sepenuhnya merasakan dampak pembangunan,” tegasnya.

Muhammad Sarip mengungkap bahwa sejarah Kutai jarang masuk dalam narasi nasional yang cenderung Jawa-sentris.

Ia membandingkan peringatan 200 tahun Perang Diponegoro yang berlangsung sebulan penuh di Jakarta dengan minimnya sorotan terhadap perjanjian Kutai–Belanda.

Menurut Sarip, perjanjian yang ditandatangani Sultan Aji Muhammad Salihuddin dengan utusan Hindia Belanda George Muller pada 1825 berisi sepuluh pasal dan lahir tanpa konflik bersenjata.

Aji Muhammad Mirza Wardana menambahkan bahwa perjanjian ini lebih bersifat kemitraan dagang daripada simbol penjajahan.

Pendapat ini diperkuat oleh Muhammad Azmi, yang membacakan naskah asli beraksara Arab Melayu.

“Kalau kita lihat isinya, ini lebih seperti kontrak dagang dibandingkan dokumen penjajahan,” kata Azmi.

Rusdianto, sang moderator, menutup diskusi dengan menekankan pentingnya inisiatif publik dalam menghidupkan sejarah lokal.

“Momentum 200 tahun ini adalah angka istimewa. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Literasi sejarah bukan sekadar seremoni, tapi harus berdiri di atas riset dan sumber primer,” pungkasnya.

Related posts

Cegah Stunting, IDAI Kaltim Turun ke Lok Bahu Skrining Tumbuh Kembang Balita

Adi Rizki Ramadhan

207 Izin Pemanfaatan Nuklir di Sektor Industri dan Kesehatan di Kaltim

adinda

BNNP Kaltim Tindak Kawasan Narkoba Jalan AM Sangaji, 94 Pengguna Diamankan

Adi Rizki Ramadhan

Leave a Comment

You cannot copy content of this page