
Samarinda, infosatu.co – Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda Kalimantan Timur (Kaltim) menyoroti sejumlah persoalan dalam penanganan masalah sosial.
Mulai dari anak jalanan, orang terlantar, hingga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Hal itu terungkap dalam rapat hearing Komisi IV DPRD Samarinda bersama dengan Dinas Sosial-Pemberdayaan Masyarakat (Dinsos-PM) mengenai capaian program atau kegiatan 2025 dan usulan anggaran perubahan 2025.
Rapat healing digelar di Ruang Rapat Gabungan Lantai 1 DPRD Kota Samarinda, Senin 7 Juli 2025.
Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Mohammad Novan Syahronny Pasie mengatakan, secara umum proses penanganan yang dilakukan Dinsos-PM sudah berjalan sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang tersedia.
Namun, ia menegaskan keterbatasan anggaran menjadi hambatan utama dalam optimalisasi pelayanan sosial.
“Yang kita soroti hari ini adalah minimnya anggaran biaya di Dinsos. Apalagi sejak Dinsos digabung dengan PM yang pelaksanaannya menjangkau hingga tingkat RT. Salah satu yang juga terdampak adalah penyediaan fasilitas di Posyandu,” jelasnya.
Menurutnya, ke depan perlu disiapkan strategi jangka menengah untuk meningkatkan kapasitas fasilitas sosial.
Ia menargetkan agar pada 2026 hingga 2029, Pemkot Samarinda sudah memiliki peningkatan daya tampung rumah singgah yang memadai.
“Fasilitas rumah singgah kita sangat minim. Hari ini banyak penanganan justru dilakukan oleh yayasan swasta karena pemkot tidak memiliki lembaga serupa. Yang ada hanya milik pemerintah provinsi. Padahal sesuai regulasi dari Kemensos, penanganan di rumah singgah hanya dibatasi 14 hari,” ungkapnya.
Novan menilai kebijakan tersebut menjadi kendala di tingkat kota, apalagi ketika menghadapi kasus ODGJ.
Banyak di antara mereka berasal dari luar daerah, sehingga setelah dirawat 14 hari di RS Atma Husada dan dilepas, Dinsos kesulitan memulangkan mereka karena ditolak keluarga.
“Begitu dilepas mereka kembali ke kita. Tapi regulasi membatasi 14 hari juga. Akhirnya dilempar lagi ke yayasan swasta. Bantuan dari pemerintah pun hanya sebatas pemberian bahan makanan beberapa kali dalam setahun. Selebihnya bergantung pada donatur,” kata Novan.
Oleh karena itu, ia mendorong agar Pemkot Samarinda mempertimbangkan pendirian rumah singgah secara permanen sebagai solusi jangka panjang.
Meskipun regulasi membatasi kabupaten/kota hanya boleh mendirikan rumah singgah, bukan yayasan, namun ini tetap perlu menjadi prioritas penganggaran dan perencanaan.
“Kalau bicara anggaran, kita siap sampaikan ke Pemkot bagaimana pola kerjanya dan kebutuhannya. Tapi kalau realisasi sekarang ya masih standar. Sebab anggaran mereka juga banyak yang sifatnya darurat atau sewaktu-waktu,” pungkas politikus Golkar tersebut.