Samarinda, infosatu.co – Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Garuda Khatulistiwa (LBH Garka) Antonius Barus menanggapi berbagai macam keluhan masyarakat terkait pemberitaan pasca munculnya putusan MK Nomor 02/PUU-XIX/2021.
Ia mengatakan jika beberapa media di Indonesia menginformasikan dengan judul-judul yang kontradiktif dan ini menyesatkan masyarakat.
“Mereka mengeluarkan topik dengan headline yang melebih-lebihkan, membesar-besarkan dan hiperbola yang sangat berpotensi meresahkan masyarakat awam. Khususnya bagi mereka yang tidak memahami isi dari putusan tersebut,” ucapnya melalui press release yang diterima infosatu.co, Selasa (7/9/2021).
Akibat pemberitaan itu kata Antonius, banyak masyarakat yang bertanya ke Kantor LBH Garka Law Firm terhadap kebenaran berita tersebut dan isi putusan tersebut.
Beberapa pertanyaan itu yakni pertama apakah dengan adanya putusan tersebut berarti semua leasing dapat menarik secara paksa dan sepihak.
Kedua, apakah debt collector nantinya mendapatkan kekuatan hukum yang tetap dari putusan tersebut. Ketiga, apakah bisa ditarik di jalan, kalau tidak lewat pengadilan. Dan terakhir, apakah debt collector makin mudah menarik secara paksa.
“Melihat berbagai pertanyaan itu, Garka Law Firm terpanggil atau dianggap perlu untuk memberikan informasi yang benar terkait putusan tersebut terhadap masyarakat secara luas,” tegasnya.
Dalam putusan MK tersebut ditolak seluruhnya Oleh MK yaitu pemohon Johsua Michael Jami, karyawan di perusahaan pembiayaan dengan jabatan Kolektor internal dan objek permohonan melalui permohonan uji materil pada Pasal 15 Ayat 2 Undang-Undang Fidusia.
“Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia sepanjang frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia,” tulisnya.
Maka lanjut Antonius, segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam amar putusannya berbunyi provisi menolak permohonan provisi pemohon dan dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Dengan ditolaknya permohonan pemohon tersebut di atas maka terhadap jaminan fidusia tetap berlaku Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020.
“Pertimbangan kaidah hukum MK bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya cedera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi),” jelasnya.
Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, dimana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya wanprestasi dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri.
“Melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN).Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang,” terangnya.
Dalam kesempatan ini, Antonius berharap agar masyarakat luas dapat memahami informasi yang diberikan oleh Garka Law Firm.
“Semoga informasi ini bermanfaat untuk seluruh masyarakat luas, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih,” paparnya. (editor: irfan)