Samarinda, infosatu.co – Tantangan utama dalam pembangunan pertanian di Kalimantan Timur (Kaltim) adalah menyeimbangkan peningkatan produktivitas dengan pelestarian lingkungan.
Menanggapi hal itu, Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Kaltim mengarahkan kebijakan sektor ini menuju pertanian berkelanjutan yang tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan pertanian.
Kepala DPTPH Kaltim, Siti Farisyah Yana, menekankan bahwa keberlanjutan pertanian tidak bisa dilepaskan dari upaya menjaga ekosistem.
Hal tersebut mencakup pengelolaan lahan, teknik budidaya, dan penggunaan input pertanian yang bersahabat dengan lingkungan demi tercapainya keseimbangan antara produksi dan pelestarian sumber daya alam.
“Kalau namanya berkelanjutan berarti semua aspek lingkungannya dijaga ya, baik dari lahannya, termasuk cara berbudaya, termasuk juga usia-usia umum,” ujarnya saat ditemui usai forum lintas sektor, Rabu, 23 April 2025.
Salah satu prioritas DPTPH saat ini adalah mengurangi emisi GRK yang berasal dari aktivitas pertanian.
Meski membuka lahan pertanian baru dapat meningkatkan hasil produksi, langkah tersebut juga berpotensi memperbesar pelepasan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan nitro oksida (N2O).
Oleh karena itu, pengelolaan lahan menjadi sangat penting.
“Kalau lahan dibuka untuk tanaman pasti ada efek gas rumah kacanya. Ada nitro oksigennya yang muncul, ada CO2-nya yang terdegradasi. Tapi cara kerja kami adalah meminimalisir itu,” jelasnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, DPTPH mulai menerapkan pendekatan pertanian ramah lingkungan.
Beberapa metode yang dijalankan mencakup penggunaan pupuk organik, pengurangan penggunaan pestisida kimia, serta penerapan pengendalian hama terpadu.
Strategi ini diyakini dapat menjaga kesehatan tanah dan air serta menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Misalnya penggunaan pupuk organik, kemudian budidayanya yang dikembalikan ke posisi tidak menggunakan banyak pestisida, dengan pengendalian terpadu,” tambahnya.
Lebih lanjut, Siti menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan lembaga dalam merumuskan regulasi yang mendukung pengelolaan pertanian berkelanjutan secara komprehensif.
Saat ini, DPTPH tengah menyusun rancangan awal peraturan yang menekankan aspek lingkungan dalam sektor pertanian.
“Masih dalam bentuk rancangan awal, jadi semua masukan sangat kami harapkan. Ini akan jadi bahan yang berharga untuk menghasilkan regulasi yang fleksibel, terkoordinasi, dan terintegrasi,” ungkapnya.
Ia menilai forum lintas sektor memiliki peran penting sebagai wadah untuk menyatukan kepentingan antarinstansi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam upaya perlindungan lingkungan melalui pertanian.
Secara nasional, sektor pertanian memang tercatat sebagai salah satu penyumbang utama emisi GRK, khususnya akibat konversi lahan dan penggunaan pupuk nitrogen secara berlebihan.
Namun, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sektor ini juga memiliki potensi besar dalam menyerap karbon, salah satunya melalui penerapan agroforestri, rehabilitasi lahan kritis, dan konservasi tanah.
Dengan luas wilayah pertanian dan kehutanan yang besar, Kaltim dinilai berada dalam posisi strategis untuk mengembangkan pertanian rendah emisi.
Upaya ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri atau hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
DPTPH Kaltim pun menegaskan komitmennya untuk menyelaraskan program prioritas daerah dengan kebijakan nasional, termasuk melalui dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) serta Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK.
“Ini bukan cuma soal produksi pangan, tapi bagaimana kita bisa menjaga alam tetap hidup, tanah tetap subur, dan udara tetap bersih. Di situ peran kami,” tutupnya. (ADV/DiskominfoKaltim)
Editor : Nur Alim