Samarinda,Infosatu.co – Indonesia sudah bermimpi tentang udara yang bersih dan sehat sejak tahun 1996 dalam Program Langit Biru. Tapi mimpi itu semakin tenggelam seiring masifnya pertumbuhan industri dan melesatnya jumlah kendaraan bermotor. Emisi gas buang di Indonesia semakin tak terkendali akibat penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi bahkan menyebut Indonesia berada di urutan kedua setelah China dalam hal kontribusi emisi gas buang dunia.
“Artinya apa? Kontribusi Indonesia terhadap kerusakan udara dunia sangat tinggi,” kritik Tulus Abadi pada Diskusi Publik bertajuk “Mendorong Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru”, Rabu (10/3/2021) lalu.
Diskusi publik digelar secara virtual melalui zoom meeting diikuti para jurnalis dan mahasiswa dari sejumlah kota di Indonesia.
Kondisi ini menurut Tulus Abadi menunjukkan inkonsistensi Pemerintah Indonesia dalam komitmen mewujudkan Program Langit Biru yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 1996.
Target Program Langit Biru adalah mengendalikan dan mencegah pencemaran udara dan mewujudkan perilaku sadar lingkungan baik dari sumber tidak bergerak (industri) dan sumber bergerak (kendaraan bermotor). Tapi sayangnya, polusi Indonesia justru semakin tak terkendali akibat pemakaian BBM yang tidak ramah lingkungan, selain kebakaran hutan.
Executive Director Institute Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang juga menjadi narasumber dalam diskusi publik tersebut mengatakan perilaku yang tidak mengikuti standar internasional (Euro 4) dalam penggunaan BBM ramah lingkungan, justru akan menyebabkan biaya ekonomi dan biaya sosial menjadi semakin tinggi.
Fabby memaparkan, salah satu ancaman terbesar masyarakat Indonesia saat ini adalah polusi udara. Menurutnya, di beberapa negara atau kota besar, 80% polusi udara disumbangkan oleh emisi pembakaran kendaraan bermotor.
“Karena polusi udara, maka biaya kesehatan menjadi lebih mahal. Baik yang harus ditanggung langsung oleh publik maupun pemerintah. Salah satunya melalui program BPJS,” kata Fabby Tumiwa.
Sadar atau tidak lanjut Fabby, berbagai penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara semakin meningkat dan pada akhirnya harus ditanggung oleh negara dengan biaya puluhan triliun rupiah.
Bicara bahan bakar, maka regulasinya ada di tangan pemerintah. Karena itu, pemerintah harus memastikan bahan bakar yang dijual harus memenuhi standar yang dapat melindungi kepentingan publik secara luas.
“Kalau harga bahan bakar dijual terlalu murah, masyarakat pasti akan memilih harga yang termurah,” sindir Fabby lagi.
Lebih menyedihkan lagi lanjut Fabby, karena 97 persen BBM yang beredar di Indonesia, belum memenuhi standar internasional.
“Khususnya dalam standar sulfur masih di atas 500, padahal yang disarankan di bawah 50 PPM,” ungkapnya.
Sementara penggiat senior YLKI, Sudaryatmo menyebut ada beberapa variabel yang harus digarap, jika pemerintah bersungguh-sungguh ingin mewujudkan Program Langit Biru di Indonesia.
“Pertama terkait regulasi, baik regulasi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” sebut Sudaryatmo.
Baginya, pemerintah daerah juga memiliki peran sangat penting dalam mengatur regulasi terkait hal ini. Karena menurutnya, daerah lah yang lebih mengerti tentang kualitas udara di wilayah masing-masing.
“Menurut saya, pemerintah daerah dapat mengambil kebijakan dan langkah-langkah proaktif untuk membatasi atau melarang penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan,” tegas Sudaryatmo.
Variabel berikutnya consumer awareness. Yaitu kesadaran konsumen atau masyarakat pengguna BBM untuk meninggalkan BBM yang tidak ramah lingkungan dan beralih ke BBM ramah lingkungan.Kesadaran ini penting karena kualitas udara yang bersih dan sehat itu adalah juga hak masyarakat. Dia menyarankan agar dilakukan pengukuran kualitas udara secara rutin di setiap daerah.
Variabel ketiga, terkait kepedulian dari Pertamina selaku penyedia BBM dan industri otomotif sebagai penyedia kendaraan bermotor. Hal ini akan berkaitan dengan spesifikasi kendaraan yang pada akhirnya akan dilempar ke pasar dengan standar penggunaan BBM yang ramah lingkungan.
Selanjutnya perlu edukasi berkelanjutan agar masyarakat sadar pentingnya udara yang sehat dengan beralih ke BBM ramah lingkungan, seperti penggunaan pertamax atau pertamax turbo.
Edukasi sangat penting sebab faktanya, masyarakat akan cenderung menggunakan BBM dengan harga murah ketimbang harus membeli BBM dengan harga mahal.
“Kalau kendaraan saya masih bisa jalan, kenapa saya harus beli BBM yang lebih mahal. Kembali ke soal price, soal harga. Masyarakat masih sensitif dengan harga. Ini adalah tantangan pemerintah untuk terus melakukan edukasi konsumen,” sahut Maulana Isnarto, sang moderator diskusi publik.
Perihal ini dibenarkan Irfan Ghafur, komedian stand up asal Samarinda yang juga influencer muda dalam diskusi publik yang berlangsung sekitar empat jam itu.
“Bagi anak muda, apalagi belum bekerja, pilihannya pasti BBM murah. Lebih baik dibilang gak keren, daripada besok gak makan,” tukasnya.
Menurut Irfan, keengganan anak muda bisa juga karena ketidakmengertian mereka. Jika pemerintah bermaksud mengedukasi masyarakat, maka tidak ada salahnya melibatkan influencer muda.
“Jadi harus ada tik tok antara pemerintah dengan influencer muda. Influencer kan sudah punya massa, tinggal dishare saja. Yang lain pasti ikut. Apalagi kalau influencernya artis dan idola,” saran Irfan.
Dalam diskusi publik secara virtual ini, pihak Pertamina diwakili Deny Djukardi. Dia menjelaskan, Pertamina juga sedang melakukan kampanye Program Langit Biru dengan mendorong masyarakat untuk dapat menggunakan BBM yang kualitasnya lebih baik.Pertamina juga menggunakan strategi potongan harga pertalite (RON 90).
“Ini strategi kami agar masyarakat mau menggunakan BBM berkualitas baik dengan harga tidak jauh berbeda dengan premium (RON 88). Harapan kami masyarakat beralih secara permanen menggunakan BBM berkualitas baik dan ramah lingkungan,” kata Deny.
Program Langit Biru versi Pertamina ini sudah dilakukan di sejumlah daerah, terutama dengan konsumsi premium yang tinggi.
Sementara itu, wakil pemerintah Ratna Kartikasari, Kasubdit Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berterimakasih atas upaya YLKI dan Kantor Berita Radio (KBR) untuk membantu pemerintah mengkampanyekan Program Langit Biru.
“Terima kasih atas dukungan YLKI, KBR dan rekan-rekan media untuk Program Langit Biru. Kampanye Program Langit Biru terus dilakukan melalui kanal youtube kami,” sebut Ratna.
Selain regulasi pemerintah pusat, kebijakan daerah menurutnya juga sangat penting untuk membantu membangun kesadaran masyarakat. Misalnya dengan membangun pedestrian yang nyaman dan layak. Pemerintah juga perlu membuat transportasi masal yang murah, terjangkau, aman dan nyaman, plus jalur sepeda.
“Ini akan mengulik kesadaran masyarakat untuk berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum, ketimbang memakai kendaraan pribadi,” sambung Ratna.
Sebagai pamungkas, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menegaskan bahwa penyakit dari polusi udara tidak dating tiba-tiba, tapi bersifat akumulasi. Karena itu, konsistensi pemerintah untuk menyukseskan Program Langit Biru harus menjadi sebuah keniscayaan.
Dia juga akan terus berupaya mengedukasi masyarakat terkait salah kaprah yang sudah berlangsung sekian lama. Bahwa menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan akan lebih hemat, padahal sebaliknya masyarakat justru akan merugi.
“Kami akan terus mengampanyekan BBM ramah lingkungan, demi kesehatan generasi-generasi Indonesia. Tanpa batas waktu,” pungkas Tulus Abadi.